Sunday, September 30, 2007

A time for the beauty of waiting

Siapa orang di dunia ini yang suka menunggu lebih lama untuk sesuatu yang dia bener2 butuh ato pengen dapetin secepatnya? Aku rasa ga ada. Kalo ada, aku pengen banget ketemu sama itu orang dan aku pengen foto bareng sama dia, saking jarangnya orang kaya gitu. Lihat aja kalo orang yang kita tunggu misalnya telat 10 menit, pasti kita udah rasa ga enak atau bahkan udah mulai menggerutu. Apalagi kalo orang Belanda, beh, mungkin dia udah pulang kali meski si orang itu telatnya cuma 10 ato 15 menit doang. Tapi suka ga suka, menunggu kadang2 harus kita alami dalam hidup.

Aku juga ga suka menunggu dan kalo keterlaluan, aku ga mau dan ga bisa menunggu terlalu lama. Tapi kali ini aku kembali harus menunggu dan aku sudah berjanji untuk menunggu. Jadi, sesuai janjiku, aku memang akan menunggu hingga waktunya tiba, meski pada awalnya ga mudah buatku, yah setidaknya terasa dari kepalaku yang sempat pusing dan badanku yang lemas untuk sesaat hehehe. Tapi saat ini aku udah kembali kuat, justru karena aku kembali diingatkan oleh beberapa blogku yang kutulis sebelumnya. Again, they show themselves to me as faithful advisors! Thanks guys! Aku akan kembali tulis what they told me about the beauty of waiting.

Aku diingatkan bahwa menunggu kerap kali adalah bagian dari perjuangan untuk meraih sesuatu. Bahkan aku bisa bilang, orang yang ga siap menunggu sebaiknya ga usah berjuang. Playing football is not about kicking the ball once we get it. It is about knowing and waiting for the right time to kick. Kalau memang sesuatu itu berharga untuk diperjuangkan dan dinanti, maka rasanya memberi sejumput waktu lagi untuk menunggu sama sekali bukanlah tindakan bodoh, apalagi kalau memang menunggu adalah syarat yang memang diminta untuk itu. It leaves me with no other better choices! Even it is the most logical option to choose, then. Aku harus akui, sebenernya ada pilihan yang lain sih kalo aku mau. Pilihan2 lain ini biasanya datang dengan suara nyaring mereka dalam hatiku yang mengatakan betapa bodohnya aku. Ah, bukan kali ini aja suara2 nyaring itu datang menggangguku, tapi selalu ketika aku menetapkan hatiku untuk membayar harganya dengan bersedia menunggu lebih lama, suara2 itu segera lenyap entah kemana, sebab aku tahu dan yakin apa yang sedang kulakukan.

Alasan lainnya yang membuat aku tak punya pilihan lain selain menunggu adalah kalau aku memang berada di posisi sebagai pihak yang meminta dan mengetuk agar pintu dibuka. Aku pernah tulis kalo meminta menuntut kerendahan hati dan mengetuk butuh sikap ga putus asa. Aku nulis juga kalo berada di kedua posisi ini berarti aku menghormati sepenuhnya hak dari pihak yang kepadanya aku minta dan orang yang berada di dalam rumah untuk memutuskan memberiku dan membukakan pintu atau tidak. Dia pun punya hak penuh untuk menyatakan kapan akan memberi jawabannya, ya atau tidak, untuk memberi apa yang kuminta atau membukakan pintu untukku. Jika waktu untuk jawaban itu belum tiba dan aku harus menunggu, maka bagiku, ini berarti menunggu adalah bentuk penghormatan dan penghargaanku untuk orang itu. Kupikir ga ada seorangpun yang setuju bahwa segala bentuk pemaksaan seperti merampas atau menjebol pintu adalah satu bentuk penghormatan dan penghargaan kan? Tapi aku juga sebenernya bisa aja memutuskan untuk berhenti meminta atau berhenti mengetuk, kalo aku mau. But this time I won’t quit and I have agreed to wait until the promised time because I think it’s worth all the sacrifices. Bukankah hidup ini sering kali bukan masalah bisa ato ga bisa, tapi mau atau ga mau?

Yang justru jadi pertanyaan menarik buatku adalah bagaimana menunggu seperti ini akan membentuk diriku? Aku tahu jawabnya, meski aku juga tahu pasti selalu ga mudah untuk melaluinya. Ini bukan pertama kalinya aku menunggu dalam hidupku untuk sesuatu yang bener2 aku harapkan dan karena itulah aku bisa jawab pertanyaan itu. Menunggu mengajarkan sesuatu yang ga bisa diajarkan oleh kesempatan2 lain dalam hidup. Menunggu ibarat seorang guru tua yang mengingatkanku dengan suara lantang bahwa aku ini manusia terbatas, that I’m neither the almighty nor the omnipotent. It teaches me that there’s no such thing as the Aladdin lamp or genie in a bottle. Menunggu juga mengajarkanku untuk bersabar dan menahan diri. Menunggu juga mengajarku untuk memelihara harapan dan keyakinan bahwa semua akan indah dan manis pada waktu-Nya. It is hope and faith that keep us alive, right? Saat menunggu juga menjadi saat terbaik untuk berdoa dan menundukkan diri. Finally, menunggu adalah kesempatan baik untukku mengenal diriku, dirinya dan diri-Nya lebih baik. So, with all these benefits wrapped up in a package called waiting, it is not a bad package after all, isn’t it?

--

A Time for Everything

There is a time for everything,
and a season for every activity under heaven:

a time to be born and a time to die,
a time to plant and a time to uproot,
a time to kill and a time to heal,
a time to tear down and a time to build,
a time to weep and a time to laugh,
a time to mourn and a time to dance,
a time to scatter stones and a time to gather them,
a time to embrace and a time to refrain,
a time to search and a time to give up,
a time to keep and a time to throw away,
a time to tear and a time to mend,
a time to be silent and a time to speak,
a time to love and a time to hate,
a time for war and a time for peace.

He has made everything beautiful in its time.

Ecclesiastes 3;1-8, 11 (NIV)

No comments: