Thursday, January 29, 2009

Ivan dan Ukraina

Menurut jadwal yang saya rencanakan, malam ini seharusnya saya belajar, tetapi saya putuskan untuk menuliskan kisah percakapan saya dengan rekan sekerja di ruangan saya yang baru tiba dua hari lalu dari Ukraina. Kata orang bijak, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Karena itu pula saya segera menuliskannya, karena dua alasan: mengikuti kata orang bijak itu, dan karena menurut saya apa yang kami bicarakan tadi itu penting.

Saya senang bertemu, mendengar, berbincang-bincang dan belajar dari banyak orang, terutama dari latar belakang yang berbeda, apalagi dari bangsa lain. Saya yakin kita bisa belajar dari hidup siapa saja, entah itu dari keberhasilan atau kegagalan, kisah gembira atau duka, orang kaya atau miskin. Dua hari yang lalu, saya mendapat teman satu ruangan yang baru, sebut saja namanya Ivan dari Ukraina. Umurnya 28 tahun, sama seperti saya. Kami sudah berkenalan dan ngobrol singkat beberapa kali, tapi waktu tadi mau pulang ke rumah, saya sempatkan untuk menyapanya dan ngobrol lebih lama, yang ternyata menjadi sebuah kisah tentang perjalanan hidupnya dan tentang sebuah bangsa yang besar, bangsa Rusia.

Bangsa yang satu ini memang selalu menarik bagi saya. Satu penyebabnya adalah karena cukup seringnya saya bertemu nama-nama Rusia di berbagai buku teks, paper dan jurnal ilmiah yang lewat di depan mata saya. Pertanyaan saya, mengapa bangsa ini memiliki begitu banyak ilmuwan hebat? Itu juga pertanyaan saya kepadanya, memulai pembicaraan kami. Apa yang saya ceritakan ini adalah versi sederhana dan kompak dari apa yang diceritakannya kepada saya dan refleksi saya tentangnya. Anda boleh setuju boleh tidak, sebab cerita ini memang tidak butuh persetujuan siapapun. Namanya juga cerita.

Jawaban atas pertanyaan saya tadi adalah, karena ternyata bangsa Rusia memiliki sistem pendidikan yang mampu sedemikian memotivasi para siswanya untuk belajar dan mengerti matematika, ilmu alam, dan sastra. Sistem pendidikan ini telah berlangsung selama lebih dari 300 tahun, dan di dalamnya matematika merupakan ilmu yang paling dominan. Di Rusia (sebelum pecah), untuk tiap bidang ilmu ada kompetisi yang dapat diikuti oleh siswa, mulai dari tingkat sekolah, lokal, kota, propinsi, hingga nasional dan internasional. Ada kompetisi untuk matematika, untuk fisika, untuk kimia, semuanya, termasuk juga untuk olahraga. Suasana kompetisi ini benar-benar dirayakan oleh siswa dan mereka yang berhasil ikut apalagi menjadi juara di kompetisi-kompetisi ini menjadi idola dan pembicaraan di sekolah dan lingkungan. Tapi dengan adanya kompetisi-kompetisi itu, ternyata sekolah Rusia tidak mengenal ranking di kelas dan umum, yang membandingkan satu anak dengan anak yang lain.

Mengapa para siswa ini termotivasi dan semangat untuk belajar, bahkan lebih dari yang mereka dapat di sekolah, untuk ikut kompetisi? Ivan menjawab, kuncinya adalah Rusia memiliki guru-guru matematika, ilmu alam dan sastra yang sangat kompeten, semua minimal bergelar setara master, mencintai ilmu yang ditekuni dan diajarkannya, sehingga mereka pun sangat bagus dalam menjelaskan ilmunya kepada siswa. Guru-guru Rusia waktu itu mampu membuat siswa-siswa Rusia melihat keindahan di balik matematika, ilmu alam, dan sastra. Keindahan yang mereka telah lihat ini membuat mereka ingin melihat lebih banyak keindahan lagi. Selain itu, siswa-siswa Rusia tidak perlu bayar uang sekolah dan uang buku sebab pendidikan dan buku semua gratis, termasuk buku tulis dan alat-alat tulis. Semua buku disusun oleh pemerintah pusat untuk menjamin kualitas dan update dilakukan sekali lima tahun.

Tidak jarang, siswa yang tertarik untuk belajar satu bidang ilmu lebih dalam dengan leluasa dapat datang kepada gurunya untuk belajar. Guru itu pun dengan senang hati mengajar siswa tersebut hingga puas. Ivan bercerita, tak jarang guru bisa habiskan berjam-jam dengan seorang siswa yang sangat tertarik dengan bidang ilmu sang guru. Kata Ivan, matematika dan ilmu alam yang standar dipelajari di sekolah setara SMA di Rusia sudah mencapai taraf sarjana tingkat dua. Kalau begitu, bayangkan saja, jika seorang siswa SMA yang sangat tertarik matematika belajar lebih banyak kepada seorang guru matematika bergelar master lulusan universitas Rusia! Siswa-siswa seperti ini mungkin akan lebih mengerti matematika daripada seorang sarjana matematika, kata Ivan, sebab level matematika yang dibutuhkan untuk ikut kompetisi memang di atas apa yang standar diajarkan di sekolah.

Saya yakin, Ivan benar-benar mengalami semua yang diceritakannya, sebab dia suka sekali matematika, sampai-sampai dia mempersiapkan dirinya tiga tahun untuk bertarung di ujian masuk universitas tingkat nasional di Rusia. Tujuannya cuma satu: menjadi mahasiswa di Departemen Matematika Lomonosov Moscow State University, universitas terbaik di Rusia dan salah satu yang terbaik di dunia untuk bidang matematika. Dia sudah malang melintang di berbagai kompetisi matematika, fisika dan kimia dari tingkat sekolah hingga nasional. Selama tiga tahun itu, ia bahkan kursus jarak jauh khusus bidang matematika. Tiap minggu ia terima materi advanced mathematics dari Moscow, ia kerjakan semua soal-soalnya dan akhir minggu dia kirim semua kembali ke Moscow. Jawabannya akan dia terima kemudian lewat pos. Demikian seterusnya, tiap minggu, selama tiga tahun.

Lalu dia pun ikut ujian nasional itu. Di sana, khusus bagi mereka yang memilih Departemen Matematika di universitas tersebut, tingkat kesulitan soal-soal matematikanya benar-benar menantang, kata Ivan. Dia juga harus mengerjakan soal-soal fisika, kimia, bahasa Inggris, dan sastra Rusia. Sayang, meski dia sudah berusaha demikian keras, dia tak berhasil. Saya sendiri tidak bisa membayangkan, kalau siswa berbakat seperti Ivan saja tidak lulus, lalu betapa briliannya para mahasiswa yang berhasil diterima di Departemen Matematika universitas paling bergengsi tersebut!

Menurut Ivan, sistem pendidikan yang menekankan matematika ini dimulai dari kembalinya para ilmuwan Rusia yang belajar di Jerman ke Rusia, seperti Mendeleyev, Lomonosov, dan Kolmogorov. Mereka lalu mengusulkan kepada kaisar untuk menjadikan matematika dasar dalam pendidikan Rusia dan kaisar merestui. Sejak itulah, dengan menguasai matematika dengan kuatnya, Rusia pun mampu untuk menguasai dengan cepat pula ilmu alam seperti fisika dan kimia, sebab di puncak-puncak gunung ilmu, kita akan menemukan kesamaan bahasa, yaitu matematika. Dengan menguasai ilmu dasar pula, maka Rusia mampu menguasai dan mengembangkan teknologi mereka sendiri yang bahkan mampu membuat Amerika takut.

Tapi setelah menceritakan itu semua, nada suara Ivan berubah. Semua itu adalah masa lalu, kata Ivan, waktu Rusia belum pecah. Sekarang, katanya, setelah 19 tahun pecah dari Rusia, kondisi benar-benar berubah. Guru-guru yang benar-benar bagus sudah pergi ke luar negeri, ke Eropa, Amerika atau Israel, atau mereka berhenti jadi guru dan mengerjakan pekerjaan lain karena semakin sulitnya hidup. Guru-guru yang ada di sekolah-sekolah sekanang sudah jauh menurun kualitasnya. Semangat kompetisi sudah mengabur. Kalau dulu Rusia yang berjaya di berbagai kompetisi sains internasional dan Cina hanya bisa menguntit di runner-up, kini Cina merajalela. Remaja dan siswa di Ukraina sekarang lebih malas untuk belajar. Yang menjadi idola dan pembicaraan di sekolah bukan mereka yang ikut dan menjuarai kompetisi ilmiah, tapi mereka yang jago main Counter Strike atau Half-Life, dua computer game yang top di Ukraina. Sebaliknya, siswa dan remaja yang rajin belajar dan tertarik dengan ilmu justru bahkan dicemooh. Siaran TV dari Barat dan internet benar-benar membuat kondisi makin buruk, ditambah dengan berbagai teknologi dan gadget seperti IPod dan ponsel. Kata Ivan pula, kalau dulu pria yang berpendidikan tinggi diincar oleh para gadis, sekarang mereka justru tertarik pada grup band, pengusaha kaya, atau anggota mafia. Satu kalimat yang diucapkan Ivan ini tak akan pernah saya lupa: "Jika keadaan seperti ini terus, aku tak tahu akan seperti apa buramnya masa depan negeriku."

Kalimat Ivan tadi terngiang-ngiang di kepala saya sambil saya pulang ke rumah dan masak untuk makan malam saya. Sungguh saya tak menduga, di balik pribadi teman seruangan saya yang awalnya terkesan pendiam itu, tersimpan kepedulian besar untuk bangsanya. Kondisi yang tak jauh berbeda juga sedang terjadi di Indonesia bukan? Coba saja bandingkan anak sekolah sepuluh tahun lalu dengan anak sekolah zaman sekarang. Lalu bagaimana? Jawabannya saya serahkan kepada kita sendiri. Setidaknya saya sudah coba melakukan sesuatu dengan menghabiskan satu jam lebih untuk menceritakan semua ini. Semoga saja.

Sunday, January 25, 2009

Pesan buat master's students

Aku bersyukur banget bisa menyelesaikan studi S2 tepat waktu di TU/e. Dalam pertemuan dan perbincangan dengan mahasiswa master junior ku di TU/e waktu itu, khususnya dari Indonesia, sering mereka menanyakan tips2 atau nasihat2 apa yang perlu dan penting buat mereka selama S2. Karena aku rasa mungkin bisa berguna juga buat yang lain, aku tulis di sini apa aja yang kira2 udah kusampaikan ke mereka. Tips2 ini juga sebagian berupa pelajaran2 penting yang kudapat selama studi S2, jadi bukan hanya soal teknis kuliah, tapi juga gimana hidup di tanah orang. Oya, konteksnya ini sih di Belanda, tapi moga2 tetap bermanfaat di tempat lain. Kemudian semua ini didasarkan pada pengalaman, pemikiran dan pengamatanku, jadi kalo ga setuju, silakan aja. Semoga berguna.
  1. Studi lanjut S2 itu merupakan sesuatu yang serius. Jadi, sama seperti melakukan apapun, entah kecil apalagi yang besar dan berdampak panjang, make sure that you start with the end in mind. Maksudku, pastikan kau memiliki tujuan yang benar2 tepat kenapa kau ingin S2. Tujuan ini nantinya yang akan menguatkanmu ketika kau tiba pada saat2 yang sulit dalam studimu. Kalau tujuanmu ga jelas dan fuzzy, misalnya studi S2 just for the sake of it, aku takut di saat2 sulit itu kau akan limbung, atau bahkan menyerah. Waktu aku menjejakkan kakiku pertama kali di Schiphol Amsterdam (bahkan jauh sebelum itu, waktu aku apply S2), aku sudah punya tujuan jelas: aku mau berjuang untuk dapatkan beasiswa S3 begitu lulus. Soal kenapa aku punya tujuan itu, well I'll save it for another blog. Tujuan jelas itu menolong sebagai pemandu dalam membuat keputusan2 dan pilihan2 penting dalam studimu nanti, khususnya di tahun terakhir. Waktu aku tesis, karena aku mau PhD, ya aku mengerjakan topik yang content research nya lebih tinggi yang punya potensi untuk menghasilkan publikasi ilmiah. Trus, setelah lulusan S2 di TU/e ditawarin untuk ikut program postmaster (PDEng). Aku ditawarin juga waktu itu, cuma karena ga sesuai dengan tujuanku, ya aku ga hiraukan. So that's it, begin your journey with the end in mind.
  2. Bulan2 pertama itu sangat krusial. Pastikan kau udah mulai pijak gas di saat2 ini dan jauhkan berleha2. Carilah teman kerja yang pas di kelasmu dan cobalah belajar kelompok. Yah, buatku sih itu cara belajar yang paling efektif. Trus, pelajari baik2 semua peraturan yang ada, soal grading system, tentang ujian, dll. Pegang prinsip ini baik2: DALAM HIDUP INI, BERHATI2LAH DENGAN ASUMSI! Apalagi soal peraturan, karena kita ini orang pendatang di negeri orang, so kalo ada yang ga jelas, langsung tanyakan ke pihak yang berwewenang. Jangan pernah menduga2 atau berasumsi atau percaya langsung apa kata orang. Don't be lazy, go move your ass and ask the right person who can give you the right answer. Knowing the truth and the rules of the game soon will save you from many unnecessary problems in the coming days. Believe me. So once more, beware of assumptions.
  3. Waktu S2 kita akan punya kesempatan untuk belajar banyak hal dan berkenalan dengan hal2 baru, termasuk yang berbeda dengan bidang program master kita. Nah, untuk memilih topik riset buat tesis, di tahun pertama dimana banyak kuliah adalah kesempatan untuk menguji dan menemukan apa passion mu dalam riset, dan juga apa yang paling sesuai dengan tujuanmu. Mungkin aja, kau menemukan bahwa sebenarnya kau punya passion yang lebih besar bukan di program master mu yang utama. Tanyakan ke pihak berwewenang gimana kau bisa riset dalam bidang itu. Again, jangan cepat2 berasumsi itu ga bisa. Programku dulu sebenernya di bidang broadband telecommunication technologies, fokusnya di optical and wireless communications. TU/e memang salah satu center of excellence bidang optical communications, di Eropa dan di dunia. Cuma di tahun kedua, aku lakukan semua internship dan tesisku bukan di bidang itu, tapi justru di bidang image and video processing, di Philips Research Eindhoven. Kenapa? Ada dua alasan. Pertama, setelah aku ikuti dua kuliah bidang image dan video (yang merupakan kuliah pilihan), aku makin yakin di sinilah passion ku. Kedua, karena tujuanku mau membangun pendidikan tinggi di Indonesia yang jelas dana risetnya terbatas, so aku harus fokus di tesis S2 dan S3 ku di bidang yang bisa melakukan riset berkualitas dengan dana riset terbatas. Nah, optical and wireless communication agak susah, karena dananya muahall. Aku ingat kami kunjungan ke lab optical communication, dan kami tanya berapa harga alat2nya. Ada satu alat kecil, harganya udah di atas EUR 10,000! Trus ada alat yang gede, kek lemari gitu, profesornya bilang alat ini cuma ada 10 di dunia! So jelas, optical communication is not the one. Beda banget sama riset di bidang image dan video, atau multimedia. Aku perhatikan di research group prof pembimbingku, paling mereka cuma perlu komputer, kamera, teknologi open source, atau implementasi di FPGA, yang jelas terjangkau buat kantong Indonesia. Modal utama ya matematika. Itu makanya, selama tahun keduaku aku 'pindah jalur'. Tapi semua kuliah master ku di bidang telekomunikasi ya kuselesaikan juga sebaik mungkin, meaning I know more knowledge than my peers in class, right? Hehehe.
  4. Oya, satu yang sangat penting juga, usahakan pada tahun pertama setelah kau tahu apa bidang yang jadi passion mu dan sesuai dengan tujuanmu, kau harus segera cari dan kontak research group yang sesuai dengan bidang itu dan prof yang paling top di bidang itu. Aku dulu langsung hubungi prof yang akhirnya jadi pembimbingku waktu aku masih di tahun pertama. Membangun kontak itu penting, so that he/she knows you, but don't just be nice, be productive and show results. Beliau bersedia jadi pembimbingku dan coach ku. Kalo udah begini, tinggal kau aja yang harus kerja keras to deliver results. Aku juga udah bilang intention ku untuk PhD dan aku langsung tanya apa syaratnya untuk diterima PhD di groupnya. Begitu beliau kasih tahu syaratnya, aku sempat keder juga. Tapi itu memacuku justru untuk berusaha memberi yang terbaik. Like one wise man says, anything that doesn't kill us just makes us strong. Trus, jangan juga cari prof yang gampangan, carilah yang top dan the best. Put your bar high. Siapa yang ga bangga bisa lulus dengan nilai sangat baik dan bisa punya publikasi di conference internasional yang top dari tesis master dengan pembimbing IEEE Fellow kan? But it's all because of God's grace, so all glory must be to the Lord.
  5. Kesempatan di luar negeri perlu dimanfaatkan sebaik mungkin. Ada yang kerjanya jalan2 keliling Eropa atau belanja beli ini itu, habisin duit. Aku sih ga gitu, yah hidup sederhana aja lah. Aku jalan2 juga sih, tapi strategiku lebih baik fokus untuk bisa PhD, jadi punya waktu dan uang lebih banyak buat bisa jalan2 kan? Hehehe. Menurutku, kalo selama S2 yang kita dapat cuma ijazah dan pengetahuan dari kuliah dan riset tok, wah itu rugi besar. Aku pengen lebih dari itu. Aku pengen mengenal nilai2 dari bangsa2 lain yang lebih maju dan membawanya pulang sebagai bagian dari hidup dan diriku, sehingga aku pun dengan menghidupi nilai2 itu bisa maju seperti mereka. Soal nilai2 ini, aku rencanakan akan tulis blog khusus. Belajar nilai2 yang baik ini hanya bisa kalau kita berinteraksi dengan orang2 dari bangsa lain, berkomunikasi, share, keep on asking why. Makanya kerjaku waktu S2 bukan hanya belajar, tapi aku juga coba terlibat di pelayanan Kristen untuk mahasiswa internasional (bagian dari IFES), trus jadi anggota worship band di gereja, dan juga punya part-time job tiap Sabtu malam di sebuah restoran top. Tiga itu yang cukup dengan kapasitasku, tapi dari ketiganya itu, aku banyak banget belajar. Dari yang terakhir, ya aku ga hanya punya pengalaman dan belajar, tapi juga dapat duit lumayan. Trus, aku juga lakukan internship pertama ku di research group di universitas supaya aku tahu gimana rasanya lakukan riset di kampus. Tapi udah itu aku lakukan internship kedua dan tesisku (total selama 12 bulan) di Philips Research Eindhoven di High Tech Campus, jadi aku punya pengalaman gimana rasanya melakukan riset di perusahaan kelas dunia. Besides that, I also got good money from there and it makes CV more competitive hehehe. Intinya, belajarlah sebanyak2nya dari orang2 lain dan hidup mereka. Jangan cuma habiskan waktu belajar, belajar dan belajar, atau tahunya cuma rumah, ruang kuliah, dan perpustakaan, dan ngumpulnya cuma sama orang2 Indonesia aja. Beh, amit-amit. Kalo cuma itu nya yang kau dapat selama S2 jauh2 di negeri orang, rugi kali kau kurasa.
  6. Ini juga penting. Seraplah nilai2 yang baik dari bangsa lain, tapi keep maintaining your identity and pride as Indonesians! Kalau bukan kita yang bangga dan bela bangsa sendiri, lalu siapa lagi. Jangan kek orang dari kampung pelosok sana yang baru seminggu di Jakarta udah ngomong "loe gue". Gitu juga, jangan baru berapa bulan di negeri orang, langsung cepet banget berubah bahkan lebih londo daripada londo. In the increasingly flatting world that turns into a global village, having a good grip on your true identity is becoming more and more important. Pokoknya, jangan kampungan lah! It is good to always have an open mind and open life, but always know the limit when you are already too open.
  7. At the end of the day, aku belajar bahwa faktor yang paling menentukan untuk menyelesaikan dengan sebaik mungkin apa yang sudah kita mulai bukanlah brilliance atau intelligence, tapi determination and persistence, bukan cuma mimpi, plans and strategies, tapi action and unwavering commitment to get things done well ASAP. Itu makanya, dari beberapa lagu yang sering menyemangatiku selama ini, dua di antaranya adalah "Hey" dari KLA Project dan "Hidup adalah perjuangan" dari Dewa. Always keep the faith man!
Good luck with your master's study! May God bless you.

Saturday, January 17, 2009

Sekarang ia berbicara begitu kuat kepadaku...

Hari kedua aku tiba di Trondheim, aku disambut selamat datang oleh seorang rekan yang ingat aku karena tulisanku di bawah ini yang kukirim ke sebuah milis beberapa waktu yang lalu. Aku ga nyangka postingku itu ternyata masih diingatnya dan sekarang tulisanku itu berbicara begitu kuat kepadaku. Terimakasih untuk rekan yang sudah mengingatkan. Saya masih ingat dan saya mendengar. Semoga Tuhan menolong dan menguatkanku untuk tetap setia pada apa kata-kataku yang keluar dari mulut dan lidahku sendiri. Sebab sudah terlalu banyak orang lupa dan terlalu banyak pula orang yang terlalu banyak bicara.

--

Dear all,

Dari pengamatan dan pengalaman saya selama ini, tidak banyak cara untuk berkontribusi bagi kemajuan republik, setidaknya ada dua:

1. Langsung serahkan diri untuk menjadi solusi bagi persoalan bangsa di bidang2 yang perlu banyak dibenahi, dan konsisten lah berkarya hingga akhir sesuai dengan kapasitas masing2. Contoh:
Kalau geram sama korupsi di birokrasi, serahkan dari jadi PNS yang berdedikasi dan siap hidup sederhana.
Kalau prihatin dengan buruknya pendidikan di Indonesia, serahkan diri jadi guru dan dosen yang berdedikasi dan berkualitas.
Kalau sedih melihat banyaknya pengangguran, serahkan diri jadi entrepreneur untuk membuka lapangan kerja.
Kalau marah melihat kacaunya hukum di Indonesia, serahkan diri menjadi hakim atau jaksa yang berintegritas dan berani.
Dan lain-lain...

2. Kalau tidak menyerahkan diri untuk yang di atas, mungkin lebih memilih untuk berkarya di tempat2 yang sistemnya sudah baik dan stabil, seperti di perusahaan besar nasional atau asing, cara berkontribusi ya bisa dalam hal dana, tenaga dan waktu untuk tetap terlibat aktif misalnya lewat LSM atau lembaga pendidikan, program beasiswa, atau membantu mereka di no.1. Perhatikan, saya tidak bilang adalah salah untuk bekerja di tempat2 dengan sistem yang sudah baik dan stabil, bahkan di luar negeri. Semua punya peran yang unik untuk turut berkontribusi. Yang penting perlu dijawab adalah apa alasannya, apa tujuannya dan apa kontribusinya buat Indonesia melalui posisi2 itu. Kita butuh orang2 di no. 1 dan 2 untuk membangun Indonesia.

Nah, kalau seseorang punya kapasitas besar, sampai2 bisa sekolah di luar negeri tinggi2, tapi tidak termasuk satu dari kedua jalan di atas, bahkan paling parah sadar atau tidak sadar sudah jadi antek asing (setidaknya dalam pikiran), akan lebih baik kalau orang2 seperti ini tidak usah banyak bicara, stop kritik sana-sini, tak bikin masalah baru atau ya udah langsung aja lah ganti warganegara.

Soal PPI, saya cuma ingin sampaikan satu quote favorit saya dari fim Spiderman ini:

Whatever life holds in store for me, I will never forget these words: "WITH GREAT POWER COMES GREAT RESPONSIBILITY. " This is my gift, my curse. Who am I? I'm Spider-man.

Then, who are we? Who are you? Who am I?
Yang pasti, talk does not cook rice.

Untuk Indonesia,
Mauritz Panggabean

Worship is the submission of all of our nature to God.
It is the quickening of conscience by His holiness,
nourishment of mind by His truth,
purifying of imagination by His beauty,
opening of the heart to His love, and
submission of will to His purpose.
And all this gathered up in adoration
is the greatest of human expressions
of which we are capable.

William Temple, Archbishop of Canterbury, 1881-1944

Friday, January 16, 2009

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (7/7)

Karena itu, masihkah hati dan pikiran kita adem ayem dengan potret mahasiswa Indonesia yang memprihatinkan tadi? Sadarkah Saudara akan tuntutan dan beban dari rakyat yang memang tak tersuarakan itu? Kalau gendang telinga Saudara sebagai mahasiswa masih belum juga mendengar suara rakyat itu, cobalah Saudara tanyakan sendiri kepada petani, nelayan, buruh, guru, tukang becak, tukang bangunan di luar sana, tanyakan, tanyakanlah kepada mereka apa yang mereka harapkan dari Saudara sebagai mahasisawa Indonesia!! Ceritakan dan gambarkanlah potret buram mahasiswa Indonesia yang sudah kita lihat tadi kepada mereka, lalu dengarlah baik-baik apa kata mereka tentang semua itu!! Tidakkah kau dengar mereka juga bertanya, "Mana itu mahasiswa Indonesia sejati yang kami cari? Dimana mereka? Mana rasanya? Mana taste-nya??"

Bukan hanya rakyat negeri ini yang menuntut Saudara sebagai mahasiswa. Jika Saudara mengaku diri Saudara Kristen, maka Allah yang menciptakan Saudara melalui anak-Nya Yesus Kristus meminta Saudara menghasilkan buah yang baik untuk kemuliaan-Nya. Bukankah kematian Kristus di kayu salib untuk Saudara dan saya tidak akan dapat dibalas dengan apapun? Bukankah satu-satunya yang dapat kita persembahkan adalah menjadi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya? Toh, apa yang kita persembahkan itu, yaitu diri dan hidup kita, bukankah itu sebenarnya milik Allah dan bukan milik kita? Jika memang Saudara sebagai mahasiswa mengaku diri Saudara pengikut Kristus, lalu apakah jawabmu terhadap seruan itu, "Mana taste-nya mahasiswa Kristen Indonesia? Mana dia mahasiswa Kristen Indonesia yang sejati itu?"

Dua ribu tahun yang lalu, di padang gurun Yudea, berbondong-bondong orang datang kepada suara yang berseru-seru di padang gurun, suara Yohanes Pembaptis. Ia berseru dengan lantang, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat! Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api." Para pemungut cukai yang datang bertobat bertanya kepadanya: "Guru, apakah yang harus kami perbuat?" Yohanes Pembaptis menjawab: "Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu." Prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: "Apa yang harus kami perbuat?" Jawabnya kepada mereka: "Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu."

Saudara-saudara, ijinkanlah saya bertanya, adakah juga mahasiswa Indonesia berada di antara orang-orang yang datang kepada Tuhan untuk bertobat itu? Adakah? Adakah? Adakah mahasiswa Indonesia itu bertobat dan berseru kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku ini mahasiswa Indonesia, apakah yang harus aku perbuat? Apakah yang harus aku perbuat Tuhan dengan masa mudaku? Apakah Tuhan yang harus aku perbuat?" Adakah Saudara pun berseru demikian di dalam hati dan pikiranmu? Adakah? Adakah? Saudara-saudara, jika Saudara masuk ruangan ini dengan hati dan pikiran tenang, tetapi meninggalkan ruangan ini dengan hati dan pikiran yang gelisah, maka itu berarti tidak sia-sia saya bersuara dan berseru hari ini di sini. Tetapi, jika hati Saudara tetap tenang seolah-olah tak terjadi apa-apa, saya berharap semoga Allah tetap mengasihi Anda dan bermurah hati kepada Saudara, sebelum terlambat.

Segala kemuliaan bagi Allah Tritunggal. Tuhan memberkati Saudara.

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (6/7)

Kategori terakhir, yaitu kategori keempat, saya namakan pola pikir dan gaya hidup
yang menjadi sumber persoalan bagi rakyat. Mahasiswa Indonesia yang diberkati dengan segala potensi orang muda dan seharusnya menjadi solusi bagi carut-marutnya persoalan bangsa ini, justru tidak jarang malah menjadi sumber persoalan baru bagi orang-orang
sekitarnya, minimal bagi keluarganya. Masih ingat dengan mahasiswa Indonesia yang kerjanya cuma belajar, belajar dan belajar demi IP tinggi dan cepat lulus? Nah, di titik ekstrim lainnya adalah mahasiswa yang justru sudah kurang atau tidak peduli lagi dengan kuliah dan studinya, dan malah fokus dengan kesibukannya di unit kegiatan mahasiswa atau organisasi di luar kampus. Mending kalau apa yang mereka kerjakan itu memang sungguh berguna buat mereka dan rakyat! Apa jadinya kalau sebenarnya yang mereka kerjakan cuma menghabiskan waktu dan uang, kongkow-kongkow dengan mahasiswa sejenis, diskusi-diskusi tanpa arah dan tujuan jelas, lalu main bola, main kartu, ya gitu deh? Apa arti semua itu dibandingkan sekian banyak tahun-tahun dan uang yang terbuang, apalagi kalau akhirnya drop-out (DO)? Oke lah kalau mahasiswa Indonesia macam ini sudah bisa cari sendiri uang buat biaya hidupnya, minimal buat beli bensin dan rokoknya. Lha, kalau untuk ongkosnya berorganisasi tak jelas dan beli rokok saja masih pakai uang orang tua, lalu apa sebenarnya yang dicari mahasiswa Indonesia macam ini?

Daftar yang termasuk kategori ini masih panjang Saudara! Mahasiswa Indonesia yang katanya calon pemimpin bangsa itu banyak juga yang susah mengendalikan darah mudanya. Mahasiswa Indonesia ini begitu cepat emosi dan tersinggung, lalu menyelesaikan konflik dengan berkelahi atau tawuran. Sungguh mengherankan kalau kita coba selidiki apa yang menyulut api perkelahian atau tawuran ini. Sering itu terjadi hanya karena salah wasit waktu main bola atau main futsal, atau karena lihat-lihat saja, atau karena masalah cewek. Tabiat main otot, main batu, samurai, atau botol daripada pakai otak ini sungguh-sungguh memprihatinkan, apalagi pelakunya mahasiswa dan, tak ketinggalan, mahasiswi juga! Apa sebenarnya yang kau cari, hai mahasiswa Indonesia?? Apa sebenarnya yang kau cari dengan berkelahi dan tawuran??

Daftar untuk kategori ini memang sungguh membikin hati miris, Saudara-saudara! Dan karena itu, saya tak mau berlama-lama membicarakannya. Gejolak darah muda dan energi tinggi mahasiswa Indonesia juga menemukan penyalurannya yang salah dalam demonstrasi anarkis. Demonstrasi yang katanya untuk memperjuangkan rakyat justru sering disertai anarkisme yang merusak fasilitas umum yang dibangun dengan uang pajak dari keringat rakyat. Kalau tidak, junior di kampus menjadi bulan-bulanan seniornya sebagai korban pembodohan dan penindasan di universitas, sebuah tempat dimana hak-hak dan kemerdekaan individu dirayakan dengan bertanggung jawab. Situasi ini diperparah dengan masuknya narkoba dan minuman keras ke kampus, yang makin menyulut api dalam urat darah mereka yang bergolak. Di samping itu, mahasiswa Indonesia lainnya, yang kaya dengan guyuran uang dari orang tua tapi miskin guyuran kasih sayang, mencari kepuasan dalam gaya hidup hedonis, konsumerisme dan pergaulan bebas. Kalau uang tidak cukup, ya sudah jual diri sajalah jadi ayam kampus atau gigolo buat om-om dan tante-tante kesepian. Gitu aja kok repot!! Hai mahasiswa Indonesia, apa sebenarnya yang kau cari?? Apa sebenarnya yang kau cari, hai mahasiswa Indonesia??

Itulah jawaban negatif saya terhadap pertanyaan siapakah mahasiswa Indonesia itu. Boleh-boleh saja Saudara tidak setuju dengan apa yang saya katakan. Itu hak penuh Saudara sebagai individu. Tetapi jika Saudara mampu melihat kebenaran di dalamnya, saya ajak Saudara untuk mendefinisikan ulang apa itu menjadi seorang mahasiswa Indonesia yang sejati. Bagi saya, seruan "Mana rasa sejati mahasiswa Indonesia??" pada dasarnya muncul karena satu alasan utama. Alasan itu yakni, kalau Saudara mampu menjadi mahasiswa di negeri carut-marut seperti Indonesia ini, apalagi kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN), maka Saudara adalah orang beruntung memperoleh kesempatan istimewa yang tidak bisa dimiliki mayoritas warga negara Indonesia akibat berbagai ketidakadilan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah. Kesempatan istimewa itu membuat rakyat bangsa ini berhak menempatkan tuntutan yang tinggi kepada yang mampu menjadi mahasiswa di republik ini.

Tuntutan rakyat yang tak terkatakan kepada mahasiswa di negeri ini makin tinggi menjulang saat semakin sulitnya akses bagi anak-anak bangsa yang berpotensi tinggi tapi tidak mampu secara ekonomi atau berada di daerah terpencil untuk dapat menikmati pendidikan di perguruan tinggi, terutama di PTN unggulan. Lihat saja, dari sekitar 1400 wisudawan wisudawati pada wisuda baru-baru ini dari universitas paling hebat di Sumatra, hanya 80 orang yang merupakan anak petani atau cuma 6%!! Ketika pendidikan tinggi, terutama di PTN, pelan-pelan secara praktis hanya terbuka lebar bagi anak-anak yang tinggal di kota dan punya uang untuk bayar biaya kuliah yang makin lama makin mahal, menurut Saudara-saudara, bukankah sesuatu yang wajar dan layak kalau mayoritas anak-anak bangsa yang pintar di negeri ini tapi dilahirkan dengan berbagai keterbatasan sosial sehingga tidak bisa menjadi mahasiswa lalu menuntut banyak hal kepada Saudara-saudara, hai mahasiswa PTN terbaik di Sumatra? Apakah sebagai warganegara mereka punya hak lebih rendah daripada Saudara-saudara yang sama-sama hidup dari tanah, air dan udara Indonesia? Apakah orangtua mereka yang petani, nelayan, buruh, guru, tukang becak, tukang bangunan, pegawai negeri yang jujur, tidak punya hak untuk melihat anaknya menikmati pendidikan di perguruan tinggi seperti Saudara? Apa bedanya orangtua mereka dengan orangtua Saudara?

Bersambung...

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (5/7)

Saudara-saudara, kategori pertama dan kedua tadi umumnya lebih mengenai individu mahasiswa itu sendiri. Nah, dua kategori terakhir ini lebih banyak tentang mahasiswa dan rakyat. Kategori ketiga dari ciri umum mahasiswa Indonesia ini saya sebut sebagai pola pikir dan cara hidup tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Mahasiswa Indonesia umumnya semakin kejangkitan semangat yang penting studi saja. Mahasiswa Indonesia ini, kalau di kampus, paling tahunya cuma jurusannya, lalu perpustakan, setelah itu ya udah, pulang ke rumahnya atau tempat kosnya. Mahasiswa Indonesia kelas ini pikirannya cuma belajar melulu, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk membangun diri dengan terlibat di unit kegiatan mahasiswa atau organisasi yang baik di luar kampus. Bahkan kadang, mahasiswa Indonesia ini menganggap segala aktifitas di luar ruang kelas atau perpustakaan itu adalah pemborosan waktu. Dengan nilai dan IP yang wajar kalau lebih bagus dari nilai atau IP mahasiswa yang juga aktif berorganisasi, mahasiswa Indonesia ini bahkan bisa menilai mahasiswa lainnya dari tinggi rendahnya nilai atau IP! Begitu bangganya mereka dengan prestasi akademik mereka, seolah-olah kesuksesan hidup setelah lulus kuliah seluruhnya ditentukan oleh angka-angka itu. Mending kalau nilai atau IP mengkilat itu diperoleh dengan cara jujur dan menunjukkan penguasaan mereka yang tinggi akan materi kuliah! Kalau angka-angka itu toh diperoleh dengan jurus-jurus menyontek, mengopek, plagiat dan suap, lantas apa yang sebenarnya patut dibanggakan oleh mahasiswa Indonesia ini? Silakan Saudara-saudara sendiri yang menjawabnya.

Ketidakpedulian yang umum ditemui di mahasiswa Indonesia tidak hanya sampai di sana saja. Mahasiswa Indonesia tidak hanya kehilangan minat untuk terlibat di unit kegiatan mahasiswa atau organisasi positif di luar kampus sebagai kesempatan membentuk pribadi mereka. Tetapi, mungkin saking begitu fokusnya kepada studi atau, lebih tepatnya mungkin, fokus mencari nilai bagus dan cepat-cepat lulus, mahasiswa Indonesia punya kehausan intelektual yang rendah untuk peduli dan memikirkan isu-isu aktual yang terjadi di sekelilingnya dan di tengah-tengah bangsanya. Boro-boro peduli dan memikirkan, mahasiswa Indonesia macam ini untuk tahu dan meng-update dirinya tentang isu-isu aktual terkini pun malas. Lihat saja dari apa yang tertarik mereka bicarakan dengan mahasiswa lainnya atau teman-temannya.

Mahasiswa Indonesia jenis inilah yang paling cepat terjangkit virus egois stadium tinggi ketika menentukan pilihan-pilihan mereka setelah mereka lulus dan menjadi alumni. Mahasiswa Indonesia yang terjangkit virus ini pokoknya sudah tidak peduli lagi antara kesesuaian pekerjaan yang hendak dilamarnya dengan bidang studi yang dipelajarinya di kampus dan dengan prinsip-prinsip mereka, kalau mereka masih punya prinsip. Entah mungkin karena tak percaya diri dan takut jadi pengangguran, pikiran mahasiswa Indonesia ini inginnya cepat-cepat dapat kerja yang gajinya paling gede dan fasilitasnya paling oke di perusahaan-perusahaan, apalagi multinational company, tanpa mempelajari baik-baik bagaimana profil perusahaan itu dan hubungannya dengan rakyat. Atau kalau tidak, ya begitu lulus mereka berbondong-bondong ikut tes jadi pegawai negeri semata-mata demi gaji tetap, pensiun, lahan basah dan kesempatan memperkaya diri, tanpa sedikit pun niat melayani rakyat. Saya teringat dengan seorang teman yang dulu waktu mahasiswa menentang rokok dengan lantang, tetapi begitu lulus akhirnya bekerja di sebuah perusahaan rokok asing raksasa di republik ini. Dengan jurus tebar surat lamaran dan CV ke sekian ratus perusahaan, mahasiswa Indonesia yang miskin kepedulian ini sudah tidak lagi menentukan masa depannya sendiri, tapi sudah menyerahkan masa depannya kepada tangan perusahaan mana yang paling cepat mempekerjakannya, meski sebenarnya pekerjaan di perusahaan itu bukan yang paling pas dengan minat dan potensinya. Kalau sudah begitu, tidak usahlah kita tanyakan soal entrepreneurship sama mahasiswa Indonesia jenis ini. Apakah ini sebabnya bangsa ini dikenal dari zaman VOC dulu sebagai bangsa pegawai? Silakan Saudara-saudara jawab sendiri.

Bersambung...

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (4/7)

Kategori kedua saya beri label kejahatan akademik. Bagi saya, ini lebih parah dari yang pertama, sebab sudah merupakan kejahatan melawan hukum. Karena mahasiswa Indonesia sudah tidak punya hasrat untuk menguasai ilmu yang dipelajarinya, entah karena alasan apa, dan diperburuk dengan mental cepat lulus dengan IPK setinggi-tingginya, mahasiswa Indonesia lalu berteman karib dengan berbagai teknik kreatif untuk menyontek dan mengopek waktu ujian atau mengerjakan tugas. Dengarlah gegap-gempita mahasiswa di ruang ujian ketika pengawas ujian yang masuk ke ruangan dan membawa berkas soal ternyata bukan dosen mata kuliah, tetapi pegawai tata usaha! Ah, jangankan pegawai tata usaha, sedangkan waktu dosennya sendiri yang mengawas ujian pun, mereka tidak takut dan tetap saja menyontek dengan lihainya. Meski isi kepalanya kosong, mahasiswa Indonesia yang menyontek itu toh tertawa-tawa bangga waktu nilai ujiannya A atau justru marah ketika dapat D atau E. Aksi pembohongan ini juga terjadi tidak hanya waktu ujian. Mengapa sering kali tanda tangan di absensi mahasiswa lebih banyak daripada yang hadir di kelas? Berani titip absen tanpa perasaan bersalah atau gelisah sudah umum bagi mahasiswa Indonesia. Bukankah ini bukti dasar bahwa mahasiswa Indonesia sudah kehilangan esensi dan tujuan sejati dari menjadi mahasiswa dan belajar di perguruan tinggi?

Ternyata dua kejahatan itu pun belum cukup, Saudara-saudara! Semangat instan yang mengalir kencang dalam urat mahasiswa Indonesia mendorong mereka untuk tidak lagi merasa bersalah ketika copy-paste tulisan orang lain dan mengklaimnya sebagai tulisannya sendiri. Ironisnya, umumnya tindak kejahatan plagiat semacam ini tidak diikuti dengan sedikit kreatifitas, minimal untuk mengedit atau memodifikasi apa yang dicurinya, yah supaya gak ketahuan lah. Benar-benar luar biasa! Coba Saudara pikir, kalau maling ayam yang cuma lulus SMP saja masih berusaha menghilangkan jejak setelah mencuri, lalu apa yang bisa kita katakan tentang mahasiswa Indonesia yang bisanya plagiat bulat-bulat tapi begitu malasnya untuk mengedit hasil copy-paste supaya tidak ketahuan? Saya persilakan Saudara-saudara sendiri yang menjawabnya.

Lalu bagaimana jika jurus titip absen, menyontek, mengopek, dan plagiat masih tidak cukup untuk menerapkan prinsip ekonomi saat mahasiswa, yaitu berhasil meraih nilai semaksimal mungkin dengan usaha seminimal mungkin? Kalau jurus di atas tak mempan juga, mahasiswa Indonesia ternyata tidak kurang akal, Saudara-saudara! Jurus sakti mandraguna milik mahasiswa Indonesia, yaitu suap pun akhirnya dipergunakan, sekali lagi, tanpa ada kegelisahan dalam hati.

Mahasiswa Indonesia macam ini berpikir, "Ah, emang gue pikirin apa kata orang. Yang penting kan aku cepat lulus, nilai bagus, IPK tinggi, cepat dapat kerja, orang tua senang, yang penting bebas lah dari tempat jahanam ini." Saudara-saudara, jika memang demikian taste atau rasa mahasiswa Indonesia, tidak heran jika korupsi dan aksi tipu-tipu menjadi prestasi internasional bangsa ini, sebab di ruang-ruang kelas universitas yang merupakan satu benteng terakhir moral bangsa pun, bibit-bibit dari semua kebusukan itu tumbuh subur dan lestari, bahkan kerap kali secara berjamaah. Sebab, akhirnya mahasiswa Indonesia macam ini kelak akan mengisi jabatan-jabatan policy maker di negeri ini, bukan? Saudara-saudara, jika mata air di hulu sungai sudah berbau busuk, mungkinkah air di hilir sungai akan berbau manis dan segar?

Bersambung...

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (3/7)

Saudara-saudara, benarkah kata-kata Mochtar Lubis itu? Kalau kata-katanya menjadi cermin, lalu engkau dan saya melihat cuplikan wajah kita sendiri di sana hingga hatimu menjadi gelisah, maka kita sudah tahu jawabnya, bukan? Menarik sekali, ceramah Mochtar Lubis itu sudah tiga dekade lebih umurnya, tapi apa yang ia gambarkan masih juga belum masuk museum pada hari ini? Saudara-saudara, meminjam bahasa Mochtar Lubis, hari ini saya akan mengajak kita untuk memikirkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kita tinggalkan sejenak tadi: "Siapa itu mahasiswa Indonesia? Apakah dia memang ada? Dimana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?". Ngomong-ngomong, mengapa saya harus mulai dengan ceramah Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia? Jawabnya karena, bukankah mahasiswa Indonesia juga adalah manusia Indonesia?

Saya berprinsip bahwa hanya ada dua syarat perlu dan cukup bagi seorang sakit untuk akhirnya pergi berobat. Syarat pertama dan perlu, yaitu orang itu harus sadar sepenuhnya bahwa dirinya sakit, yaitu dengan mengenali dirinya dan membandingkannya dengan apa yang disebut sebagai kondisi sehat. Tetapi kesadaran dan pengetahuan bahwa ia sakit tidak serta-merta membuatnya bergegas pergi ke dokter. Kenapa bisa? Sebab tidak sedikit orang sakit yang sudah begitu mencintai sakitnya itu, bahkan ia merasa ia tak dapat hidup tanpanya. Bukankah pada dasarnya dosa itu menarik dan menyenangkan, Saudara? Karena itu, syarat kedua dan cukup agar orang sakit itu perlu berobat adalah, ia harus tiba kepada titik dimana ia begitu benci akan sakitnya itu dan begitu ingin untuk sembuh. Tiba di titik ini berarti telah memiliki cara pandang yang 180 derajat berubah dari cara pandang sebelumnya tentang sakitnya dan kebutuhannya untuk sehat.

Mari kita melihat seperti apakah mahasiswa Indonesia hari ini. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya sebagai seorang mantan mahasiswa dan dosen selama beberapa tahun, saya dapat mengelompokkan ciri-ciri negatif yang umum terasa dari mahasiswa Indonesia hari-hari ini ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu sebenarnya erat berkaitan satu sama lain, entah sebagai akibat atau sebab dari hal lainnya. Kategori pertama saya sebut sebagai pola pikir kontra-intelektual. Seperti umumnya manusia Indonesia a la Mochtar Lubis, kebanyakan mahasiswa Indonesia itu bertabiat malas. Kemalasan yang sering kali akut ini terlihat dari keseganan mahasiswa untuk bekerja keras dan memberi yang terbaik, melebihi apa yang diminta. Saudara dari kemalasan ini yaitu suka menunda-nunda, tercermin dari betapa akrabnya mahasiswa Indonesia dengan cara belajar sistem kebut semalam (SKS) yang sering berujung kepada prestasi yang jauh di bawah dari apa yang sebenarnya mampu dicapai.

Selain itu, mahasiswa Indonesia umumnya berorientasi hasil dan tidak peduli pada proses. Bagi mahasiswa Indonesia, yang paling penting adalah nilai dan IP setinggi-tingginya, tanpa ambil pusing dengan proses dan arti semua aktifitas kuliahnya yang berbiaya tidak sedikit itu. Tidak hanya belajar SKS, bagi mahasiswa semacam ini yang penting bisa menjawab soal ujian dengan benar, kalau perlu menghapal mati, tanpa mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Tujuan belajar di perguruan tinggi, kesempatan kuliah, mengerjakan tugas, dan semuanya, bagi mahasiswa Indonesia, telah tereduksi menjadi aktifitas atau bahkan sekadar permainan mengumpulkan sebanyak mungkin nilai A atau B, meski pemahamannya nol besar.

Ketiadaan niat untuk sungguh-sungguh mengerti ilmu yang dipelajari juga tergambar dari sangat rendahnya minat mahasiswa Indonesia untuk menggali dan mempelajari langsung buku teks yang biasanya dalam bahasa Inggris. Bagi mahasiswa Indonesia umumnya, mengunyah hasil kunyahan dosennya yang seringkali hanya berupa diktat bahkan fotokopian lembaran slide PowerPoint sudah cukup mengenyangkan kebutuhan intelektual mereka yang rendah. Mending kalau diktat atau slide itu berkualitas baik dan mudah dipahami! Lalu apa isi otak mereka kalau ternyata diktat dan slide yang dipelajari atau dihapal mati mahasiswa itu pun, sudah dangkal isinya, susah pula dibaca dan dimengerti? Ini diperburuk pula dengan ketidakberanian, kurangnya kreatifitas dan daya kritis mahasiswa Indonesia dalam berpikir, bertanya, dan bersikap. Mahasiswa Indonesia cenderung mudah menerima apa kata orang dan bulat-bulat menganggap benar apa yang diajarkan dosen, padahal mungkin saja itu sudah ketinggalan jaman atau bahkan keliru! Lalu benarkah semua ciri mahasiswa Indonesia itu? Jika ya, lha kok bisa? Jawabannya saya serahkan kepada Saudara-saudara sendiri.

Bersambung...

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (2/7)

Sebelum kita memikirkan dan mencari rasa atau ciri sejati mahasiswa Indonesia, sebaiknya kita lebih dulu memikirkan dan menjawab pertanyaan penting ini, yaitu "Siapa itu mahasiswa Indonesia?" Ya Saudara-saudara, jika hari ini Saudara ditanya "Siapa itu mahasiswa Indonesia hari ini?", apakah yang muncul pertama kali di benak Saudara? Pertanyaan itu mengingatkan saya akan ceramah Mochtar Lubis tiga puluh satu tahun yang lalu di Taman Ismail Marzuki tentang "Manusia Indonesia". Dalam ceramahnya, Mochtar Lubis bertanya "Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apakah dia memang ada? Dimana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?" Lalu ia menjawabnya dengan beberapa ciri umum yang ia lihat dari manusia Indonesia. Mari kita coba bercermin sejenak dari kata-kata Mochtar Lubis sambil menguji apakah observasinya itu benar atau keliru.

Menurut Mochtar Lubis, ciri umum pertama manusia Indonesia adalah munafik. Kalau tidak percaya, coba saja dengar rekaman pembicaraan telepon jaksa ketua kejaksaan negeri di Gorontalo yang baru-baru ini bocor ke masyarakat sampai pak jaksa itu dipecat dan karirnya hancur. Bagi saya, musuh kemunafikan adalah integritas. Definisi sederhana tapi tepat dari integritas yang saya suka ada dalam sebuah lagu ini: "May we be a people, a people of integrity: being who we say we are and doing what we say." Kemunafikan adalah kebalikan dari semua itu.

Ciri umum kedua manusia Indonesia, kata Mochtar Lubis, adalah "segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya." Bukankah sering kita dengar, kalau terjadi kegagalan, kesalahan atau bencana di republik ini, maka sang pejabat dengan piawai mengelak bertanggung jawab dan dengan gampangnya menyalahkan bawahan, sementara si bawahan berusaha membela diri dengan alasan, "Saya hanya melaksanakan perintah atasan"? Atau, kalau mau lebih mudah, bukankah mudah sekali tinggal menyalahkan Tuhan dengan mengatakan semua itu bukan human error, tapi murni bencana alam. "Halah, gitu aja kok repot!?," begitu kata manusia Indonesia. Atau, coba saja perhatikan dagelan ngeles dari tokoh-tokoh republik ini yang terkait kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR yang masih hangat. Atau, perhatikan tingkah polah sok polos dan keranjingan lupa dari para tersangka koruptor yang kasusnya masih diproses hingga detik ini.

Ciri umum ketiga dari manusia Indonesia adalah berjiwa feodal yang sudah berurat berakar, tidak hanya di kalangan atas, tetapi juga di kalangan bawah. Bukankah banyak penguasa di republik ini cepat sekali panas kupingnya jika dikritik, tetapi begitu senang dipuji, meski pujian itu kosong bahkan sebenarnya bohong? Begitu pula, rasanya tidak sulit menemukan di republik ini orang yang hidupnya sukses karena menjilat ke atas, menyikut ke samping, dan menendang ke bawah. Ciri umum keempat manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis adalah masih percaya takhyul, meski sudah berpendidikan tinggi. Lihat saja, kalau bukan karena ada pasar yang menguntungkan, bagaimana mungkin di layar TV kita berulang kali ditayangkan iklan dimana ada orang yang berani bilang kalau lahir pada hari Selasa Kliwon cocoknya bukan kerja di air, tapi jadi pedagang?? Lantas, kalau punya bisnis tambak udang yang harus kerja di air, apa itu bukannya pedagang? Meski tak masuk di akal, anehnya, masih ada saja manusia Indonesia yang percaya hal-hal bodoh semacam itu.

Masih ada beberapa ciri umum negatif lainnya dari manusia Indonesia, menurut Mochtar Lubis. Semoga kuping Saudara masih belum terlalu panas untuk mendengarnya. Katanya, manusia Indonesia itu umumnya punya watak yang lemah, karakternya kurang kuat. Mereka mudah mengubah keyakinannya atas nama survival, apalagi jika dipaksa. Tidak hanya itu, manusia Indonesia umumnya juga tidak hemat, boros dan senang belanja, meski uangnya belum ada alias kredit. Manusia Indonesia umumnya juga tidak suka bekerja keras, kecuali terpaksa atau diawasi. Keinginannya gimana supaya sukses instan, cepat kaya, dan gampang punya gelar tinggi sampai doktor biar disegani, meski cuma dibeli dengan sekian lembar kertas warna merah yang, ironisnya, bergambar Soekarno-Hatta.

Mochtar Lubis belum puas sampai di sana. Di matanya, manusia Indonesia itu suka menggerutu dan mengkritik, cuma sayangnya tidak berani secara terbuka dan enggan mencarikan jalan keluar atau memberi diri jadi solusi. Manusia Indonesia juga akrab dengan kebiasaan susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah, apalagi orang itu musuhnya. Belum lagi kebiasaan manusia Indonesia yang suka dengan slogan-slogan yang sejatinya hampa akan arti dan makna. Kepribadian manusia Indonesia yang cenderung lemah juga membuatnya menjadi manusia tukang tiru, bukannya menjadi trendsetter tapi justru trend-follower, apalagi kalau sudah bicara apa yang lagi in di luar negeri sana.

Bersambung...

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (1/7)

Tulisan ini disampaikan oleh penulis di depan para mahasiswa Kristen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) pada Jumat, 24 Oktober 2008. Semoga berguna.

--

Siang hari ini saya diundang untuk menyampaikan ceramah di depan Saudara-saudara sekalian mengenai menjadi mahasiswa Indonesia yang intelektual. Judul yang diberikan kepada saya sangat tepat, yaitu "Mana taste-nya??" Menarik bahwa pertanyaan itu diakhiri dengan dua tanda tanya. Mengapa saya sebut ia tepat? Sebab, bagi saya, judul tersebut tidak hanya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masa kini, tetapi juga menyerang satu inti dari seluruh ceramah hari ini, yaitu persoalan taste atau rasa.

Beberapa tanda tanya yang mengakhiri sebuah pertanyaan pada dasarnya ingin menyatakan betapa urgen dan pentingnya pertanyaan itu dijawab dengan tepat. Jawaban yang memuaskan dari pertanyaan yang demikian urgen dan penting tentu akan begitu menyegarkan dan melegakan kita, ibarat aliran air sejuk di kerongkongan seorang musafir di padang pasir nan gersang. Bagi saya, pertanyaan demikian tidak hanya berkesan urgen dan penting, tetapi ia juga kerap kali sarat dengan nuansa geram atau bahkan marah dalam hati sang penanya. Sebagai contoh, itu tercermin dari bagaimana seharusnya kita menyuarakan pertanyaan di judul kita tadi. "Manaaa taste-nyaaa??" (dengan seruan) dan bukan "Mana taste-nya??" (datar, tanpa semangat).

Yang jadi pertanyaan sekarang ialah, taste atau rasa apakah yang sedang dipertanyakan keberadaannya di sini? Saudara-saudara, dalam empat puluh lima menit ke depan saya akan berbicara dan kita akan memikirkan tentang rasa sejati dari mahasiswa Indonesia, ciri sejati dari mahasiswa Indonesia. Dengan demikian, seruan pertanyaan tadi menjadi "Mana rasa sejati mahasiswa Indonesia??" "Mana ciri sejati mahasiswa Indonesia??"

Apakah yang Anda pikirkan ketika mendengar seruan tadi? Saudara-saudara, jika kita perhatikan baik-baik, seruan itu menyiratkan setidaknya dua hal penting. Pertama, bahwa jauh di dalam lubuk hati dan benak kita, kita sebenarnya tahu seperti apakah rasa atau ciri sejati mahasiswa itu. Dengan daya pikir kita, kita seharusnya tahu siapakah mahasiswa Indonesia yang sejati itu, meski mungkin samar-samar. Kalau kita tidak pernah tahu bagaimana rasa manis yang seharusnya dimiliki jeruk yang baik, maka saat kita mencicipi jeruk yang rasanya asam atau tawar, bagaimana mungkin kita bisa bertanya "Mana rasa manis jeruknya??" Begitu pula, jika kita tidak memiliki bayangan akan rasa atau ciri mahasiswa Indonesia yang sejati, maka bagaimana mungkin kita mengetahui jika rasa atau ciri sejati itu sudah tiada, bukan?

Kedua, pertanyaan "Mana ciri sejati mahasiswa Indonesia??" menyiratkan bahwa kesejatian mahasiswa Indonesia itu adalah sesuatu yang begitu berharga dan bernilai untuk diharapkan, namun sayangnya sudah sangat sulit ditemukan dalam buramnya potret mahasiswa Indonesia saat ini. Kita sadar sesuatu sudah hilang dan, parahnya, yang hilang itu sangat berharga dan kita sangat membutuhkannya. Ketika kita hendak menikmati sebuah jeruk dan tahu rasa jeruk yang baik, maka tentu kita mengharapkan kesegaran air sarinya yang manis, bukan? Itulah sebabnya, ketika jeruk yang kita makan itu ternyata tidak memiliki apa yang wajar kita harapkan darinya yaitu rasa manis, wajarlah kalau kita dengan jengkel bertanya, "Mana rasa manis jeruknya??" Atau bahkan mungkin kita akan bilang begini, "Ah, jeruk apaan nih? Sudah mahal-mahal kubeli, asam pula!" Akhirnya jeruk itu pun kita buang ke tanah dan kita pijak-pijak.

Bersambung...

Berpikir Sistematis Secara Kristen (7/7)

Penutup

Sudah sedemikian jauh perjalanan kita hingga akhirnya tiba di penutup. Saya sungguh-sungguh berharap tujuan tulisan tercapai yaitu Anda semakin diperlengkapi untuk mampu berpikir sistematis secara Kristen dan terus berlatih sehingga Anda semakin efektif dan efisien dalam hidup dan berkarya bagi Tuhan sesuai dengan peran yang dipercayakan Tuhan kepada Anda. Satu hal yang perlu saya ingatkan di bagian akhir ini adalah sejauh ini apa yang kita bicarakan sangat menekankan aktifitas otak kiri dengan kekuatan logika dan kognitifnya. Kenyataannya, dalam hidup ini, peran otak kanan dengan emosinya juga punya peran signifikan, termasuk dalam proses analisis dan sintesis. Kedua bagian otak ini seharusnya saling melengkapi dan mendukung. Memang membahas kontribusi dan pengaruh otak kanan bukan elemen dan tujuan dari tulisan ini, jika kita melihatnya sebagai sistem. Semoga dalam waktu yang akan datang aspek tersebut dapat ditambahkan dalam tulisan ini. Selamat berkarya dan melayani dengan setia. Segala kemuliaan bagi Allah Tritunggal.

Berpikir Sistematis Secara Kristen (6/7)

6. DUA LINGKARAN

Dalam berpikir sistematis, baik itu analisis atau sintesis, tentunya paling baik dan produktif jika pada akhirnya kita tidak hanya sampai kepada tataran ide sebagai hasil berpikir, tetapi juga kepada aksi, implementasi dan realisasi, jika memungkinkan. Untuk menolong kita memformulasikan bentuk aksi yang dapat kita lakukan sebagai hasil berpikir, saya menemukan bahwa konsep lingkaran kepedulian (circle of concern) dan lingkaran pengaruh (circle of influence) dari Stephen Covey dalam bukunya di atas sangat berguna. Dalam aplikasinya yang akan saya jelaskan setelah ini, saya telah mengembangkan kedua konsep itu lebih lanjut sehingga lebih bermanfaat. Dengan bahasa sederhana, lingkaran kepedulian adalah lingkaran yang melingkupi segala sesuatu yang tentangnya kita peduli. Analogi dengan itu, lingkaran pengaruh adalah lingkaran yang segala sesuatu di dalamnya dapat kita pengaruhi secara langsung. Sebagai contoh, jika kita peduli dengan kondisi hutan kita yang makin tergerus akibat illegal logging, maka itu berarti persoalan illegal logging termasuk dalam lingkaran kepedulian kita. Mirip dengan itu, kita dapat secara langsung menjaga agar pohon rindang di halaman rumah kita tidak ditebang orang yang artinya pohon di halaman rumah kita itu termasuk dalam lingkaran pengaruh kita.

Kita dapat mengembangkan kedua konsep itu lebih lanjut. Dari contoh sederhana di atas, perhatikan bahwa pohon rindang di halaman rumah kita itu juga termasuk dalam lingkaran kepedulian kita sebab kita menjaganya karena peduli bukan? Namun, apakah persoalan illegal logging termasuk dalam lingkaran pengaruh kita atau tidak ditentukan oleh siapa kita dengan peran dan otoritas yang kita miliki. Jika kita saat ini, misalnya, hanyalah seorang mahasiswa biasa, maka sangat mungkin persoalan itu tidak masuk dalam lingkaran pengaruh kita. Tetapi akan berbeda halnya jika kita adalah orang nomor satu di republik ini, maka tentu lingkaran pengaruh kita yang jelas jauh lebih besar daripada lingkaran pengaruh seorang mahasiswa akan mencakup carut-marutnya persoalan illegal logging di negeri ini.

Karena itu, dengan mengetahui bahwa setiap orang memiliki lingkaran kepedulian dan lingkaran pengaruh, kita dapat memposisikan kedua lingkaran itu dengan titik pusat keduanya di titik yang sama. Deskripsi semacam ini akan sangat menolong kita setidaknya dalam dua hal, yaitu (1) mengenal siapa diri kita atau orang lain dan, dengan pengenalan itu, (2) menentukan aksi yang tepat sebagai hasil berpikir atas suatu sistem jika kita ingin mempengaruhinya. Hanya ada dua kemungkinan dari konfigurasi kedua lingkaran semacam ini. Konfigurasi pertama menunjukkan orang yang lingkaran kepeduliannya lebih besar daripada lingkaran pengaruhnya, dan yang kedua adalah orang dengan lingkaran kepedulian yang lebih kecil daripada lingkaran pengaruhnya. Setiap orang dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari kedua kemungkinan ini, tentu dengan besar lingkaran yang berbeda-beda. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi kita untuk peduli tentang apa saja sehingga sebenarnya lingkaran kepedulian manusia dapat memiliki panjang jari-jari tak hingga. Namun, karena manusia bukan makhluk yang tidak tak-terbatas, maka lingkaran pengaruh manusia pasti terbatas. Dari kedua konfigurasi di atas, tentu kita akan mudah mengetahui manakah konfigurasi yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa yang sungguh-sungguh ingin membangun bangsa ini bukan?

Satu hal sangat menarik dan penting dari kedua lingkaran ini adalah bahwa keduanya memiliki potensi untuk berubah seiring dengan berlalunya waktu, entah membesar atau mengecil. Seorang mahasiswa yang peduli kepada bangsa ini seharusnya memiliki lingkaran kepedulian yang jauh lebih besar daripada lingkaran pengaruhnya yang masih kecil. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, mahasiswa tersebut akan lulus menjadi alumni yang kemudian pelan-pelan akan mendapat kepercayaan semakin besar dalam masyarakat. Setelah dua puluh atau tiga puluh tahun, andaikan mahasiswa tersebut akhirnya menjadi seorang senator muda di negeri ini, maka itu berarti lingkaran pengaruhnya sudah berkembang menjadi jauh lebih besar daripada lingkaran pengaruhnya saat ia masih mahasiswa. Inilah sebabnya pemuda dan mahasiswa harus dijangkau, dilayani, dan dibina baik-baik sebab kita tidak pernah tahu sebesar apa lingkaran pengaruh mereka nantinya. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah dengan membesarnya lingkaran pengaruhnya, lingkaran kepeduliannya pun juga turut membesar melebihi lingkaran pengaruhnya? Bukankah ini yang kita harapkan dari pemuda dan mahasiswa kita? Tetapi bagaimana jika justru ketika lingkaran pengaruhnya semakin besar, lingkaran kepeduliannya justru semakin mengecil hingga akhirnya hanya mencakup dirinya sendiri dan keluarganya? Orang-orang dengan konfigurasi lingkaran semacam inilah yang menjadi mimpi buruk dan sumber pembusukan bagi bangsanya dan dunia.

Setelah kita mengenal seperti apa konfigurasi yang kita miliki saat kita berpikir, maka jika kita ingin mempengaruhi sistem yang ada atau, dengan kata lain, mensintesis sebuah sistem yang lebih baik, tugas kita tinggal mengategorikan manakah elemen-elemen sistem tersebut yang masuk dalam lingkaran pengaruh atau lingkaran kepedulian kita. Lalu jika akhirnya kita ingin menetapkan aksi untuk dikerjakan sebagai hasil proses berpikir, maka pekerjaan kita jadi jauh lebih mudah yaitu mari fokus kepada hal-hal yang masuk di lingkaran pengaruh kita saja. Bagaimana dengan yang masuk di lingkaran kepedulian kita tapi di luar lingkaran pengaruh? Terus terang, hampir tidak ada yang dapat kita lakukan terhadapnya saat ini. Tetapi, jika kita tetap menyimpannya dalam lingkaran kepedulian kita sambil kita memperbesar lingkaran pengaruh kita, bukan tidak mungkin akan tiba saatnya hal-hal tadi akhirnya dapat kita pengaruhi secara langsung. Semua ini akan menolong kita untuk terhindar dari stress, kekecewaan dan sungut-sungut yang tidak perlu jika kita peduli kepada begitu banyak hal yang tidak beres di sekitar kita padahal tidak banyak yang dapat kita lakukan untuk mengubahnya. Sebaliknya, kita akan dilatih untuk fokus kepada aksi yang efektif dengan tetap memelihara visi dan semangat untuk terus maju dan berpengaruh lebih besar menjadi pemimpin. Because leadership is all about influence.

Ada satu hal sangat penting yang berlaku bagi kita orang Kristen. Karena kita menyembah Allah yang mahakuasa dan mahahadir, maka kita menyembah Allah sebagai satu-satunya yang memiliki lingkaran kepedulian dan lingkaran pengaruh yang sama-sama tak hingga besarnya, sesuai dengan kehendak-Nya. Karena kita memiliki Allah yang demikian, maka sebenarnya tidak ada hal yang tidak dapat kita pengaruhi sebab dari Kitab Suci kita tahu bahwa doa umat-Nya mampu menggerakkan Allah yang mahakuasa dan mahahadir itu untuk mengerjakan hal-hal yang bukan hanya tidak dapat kita pengaruhi, tetapi bahkan di luar batas-batas kemungkinan kita sebagai makhluk ciptaan, tentu saja semua sesuai dengan kehendak-Nya.

Mari kita kembali berefleksi sejenak dari bagian ini. Seperti apakah konfigurasi dua lingkaran Anda saat ini? Apakah yang dikatakan konfigurasi itu tentang siapa diri Anda? Jika demikian, seperti apakah konfigurasi yang ingin Anda miliki sepuluh, dua puluh tahun lagi, bahkan sampai akhir hidup Anda? Sejauh manakah Anda telah mengalami doa kepada Allah bekerja melampaui konfigurasi lingkaran Anda selama ini?

Berpikir Sistematis Secara Kristen (5/7)

5. EMPAT HAMBA DAN TUJUH PENASIHAT SETIA

Sejauh ini kita sudah belajar apa itu sistem dan bagaimana sebaiknya kita menggunakan sumber daya kita secara efisien untuk berpikir sistematis. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana caranya kita dapat mengenal dan mempelajari elemen-elemen dan interaksi antarelemen di dalam sistem yang sedang kita kaji? Untuk menjawab pertanyaan itu, maka dalam bagian ini, saya memperkenalkan empat hamba dan tujuh penasihat setia yang akan menolong kita.

Keempat hamba yang dapat membantu kita untuk berpikir sistematis adalah fakta, data, informasi, dan asumsi. Dengan bahasa yang bersahaja, fakta dapat diartikan sebagai segala fenomena aktual yang terjadi atau nyata tentang sesuatu. Contoh sederhana, setiap orang tentu memiliki tanggal lahir yang benar dan itu adalah fakta. Data dapat dinyatakan sebagai deskripsi kuantitatif atau kualitatif tentang sesuatu yang diperoleh misalnya melalui observasi atau pengukuran. Fakta dapat menjadi data, tetapi data belum tentu merupakan fakta. Sebagai contoh, seseorang pada faktanya lahir pada 1 Januari 1970, tetapi ketika kita bertanya kepadanya tanggal berapa ia lahir, ia menjawab tanggal 1 Januari 1975. Bagi kita, 1 Januari 1975 adalah data yang kita miliki tentang orang itu, yang sayangnya merupakan data yang telah dimanipulasi sebab berbeda dengan fakta. Informasi adalah pengetahuan yang kita peroleh tentang sesuatu setelah memproses data yang kita miliki tentang sesuatu itu dan fenomena lainnya. Dari contoh terakhir, jika kita membandingkan orang tadi dengan seseorang yang lain yang faktanya lahir pada tanggal 1 Januari 1970, maka kita dapat mengatakan bahwa orang
pertama lebih muda lima tahun dari orang kedua. Karena data kita tentang orang pertama itu keliru, maka informasi yang kita tarik dari data keliru tersebut pun menjadi keliru pula. Pemrosesan data untuk mendapatkan informasi memiliki beragam bentuk, seperti membandingkan, memperhatikan tren atau kecenderungan data, dan mengkaji pola statistik dari data. Asumsi sendiri adalah anggapan tentang sesuatu yang seharusnya dikonstruksi
berdasarkan fakta atau data dari masa lalu tentang sesuatu itu dan berbagai fenomena lainnya. Dari contoh di atas, pada tahun 2008, maka orang pertama yang setahu kita lahir pada 1 Januari 1975 seharusnya berumur 33 tahun. Dengan memperhatikan fakta umum di masyarakat Indonesia, maka jika orang pertama itu adalah perempuan, maka mungkin ada orang yang mengasumsikan bahwa orang tersebut sangat mungkin telah menikah.

Lalu bagaimanakah keempat hamba ini dapat menolong kita dalam berpikir sistematis? Prinsip penting yang saya pegang sampai saat ini adalah bahwa kita harus berpikir dengan memaksimalkan fakta dan meminimalkan asumsi. Jika kita memperoleh data dari sumber sekunder, maka adalah sangat berbahaya jika kita langsung menerimanya bulat-bulat sebagai fakta. Akan sangat baik mendapatkan fakta langsung dari sumber primer atau dari lapangan, jika memungkinkan. Jika tidak, maka pastikanlah data yang kita peroleh tentang suatu sistem berasal dari sumber-sumber yang memiliki rekam jejak (track record) yang baik sebagai sumber-sumber dengan tingkat kepercayaan tinggi. Dengan demikian, kita dapat menjaga bahwa upaya berpikir kita tidak akan berujung sia-sia hanya dengan informasi sampah.

Pastikanlah bahwa kita paling berhati-hati dengan asumsi. Satu kondisi dimana asumsi diperlukan adalah jika kita tidak dapat memiliki atau mengakses fakta yang kita butuhkan pada saat ini. Demikian juga, asumsi sering kali dibutuhkan ketika kita harus memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Dalam hal inilah validitas dan tingkat kepercayaan kita tentang asumsi yang dibuat harus setinggi mungkin. Contoh asumsi yang diberikan di atas bahwa orang tersebut sangat mungkin telah menikah adalah contoh pembuatan asumsi yang harus dihindarkan jauh-jauh. Mengapa? Sebab jika kita memang perlu tahu apakah orang tersebut telah menikah atau tidak, maka cara terbaik adalah dengan langsung bertanya kepada orang tersebut atau melihat statusnya di kartu identitas yang dikeluarkan oleh pihak ketiga yang independen dan berotoritas penuh seperti negara. Jadi, sekali lagi, dalam berpikir dan juga dalam hidup ini, waspadalah dengan semua yang termasuk asumsi sebab, pada realitanya, kerap kali banyak persoalan yang tidak perlu menjadi muncul karena asumsi. Mari kita ikuti apa yang Tuhan Yesus ajarkan: jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Karena itu, berhematlah
menggunakan kata mungkin dan teman-temannya, seperti barangkali, iya kali, dan lain-lain.

Ketika kita berpikir tentang suatu sistem, maka kita harus fokus kepada fakta dari elemen-elemen dan pola interaksi antarelemen di dalam sistem. Pertanyaannya, bagaimanakah kita mendapatkan fakta dan data yang kita butuhkan serta menyarikan informasi ketika berpikir sistematis? Di sinilah kita membutuhkan bantuan tujuh penasihat setia yang dimiliki oleh setiap orang. Enam penasihat pertama biasa dikenal dengan 5W1H yaitu what, where, when, who, why, dan how. Dengan aktif bertanya saat kita berpikir, kita akan menemukan jalan untuk mendapatkan apa yang kita cari. Namun, bagi saya, keenam itu belum cukup. Penasihat ketujuh yang menurut saya sangat menolong, khususnya untuk melatih kreatifitas, adalah what if atau why not. Umumnya keempat penasihat pertama, yaitu what, where, when, who, lebih banyak dipakai untuk memperoleh dan mengumpulkan data, sementara ketiga yang terakhir, yaitu why, how, dan what if atau why not lebih sering digunakan saat memproses data untuk memperoleh informasi. Semakin banyak fakta dan semakin sedikit asumsi yang kita miliki, semakin efektif pula proses berpikir sistematis kita.

Sebagai refleksi singkat kita dari bagian ini, mari Anda ambil waktu sejenak untuk mengingat-ingat apa saja asumsi-asumsi yang sampai saat ini masih Anda pegang sebagai prinsip dasar dalam hidup Anda. Apakah memang asumsi-asumsi itu valid dan layak Anda percayai? Lalu, apakah dampak dari prinsip hidup Anda yang berdasar pada asumsi tersebut pada hidup Anda sejauh ini?

Berpikir Sistematis Secara Kristen (4/7)

4. FOKUS

Kita sekarang sudah tahu bahwa sistem yang hendak kita analisis atau sintesis ternyata dibentuk oleh elemen-elemen dengan fungsi-fungsi tertentu. Untuk mengenal seluruh sistem itu, tentu kita harus mempelajari dan memahami seluruh elemen pembentuknya dan seluruh pola interaksi antarelemen yang ada di dalam sistem tersebut. Kenyataannya adalah kerap kali kita tidak perlu mempelajari seluruh sistem tersebut yang tentunya membutuhkan sumber daya (waktu, tenaga, uang) yang jauh lebih banyak dari yang kita miliki. Karena keterbatasan sumber daya itulah maka kita perlu memfokuskan upaya berpikir kita kepada elemen-elemen sistem yang memiliki peran dan fungsi paling dominan yang memungkinkan fungsi-fungsi utama sistem tersebut dapat bekerja dengan baik.

Untuk menolong kita fokus dan konsentrasi dalam berpikir sistematis, maka saya menggunakan Prinsip Pareto * yang sudah cukup lama dikenal. Prinsip Pareto menyatakan bahwa 80% akibat (effects) datang dari 20% sebab (causes). Prinsip Pareto diformulasikan atas studi Vilfredo Pareto, seorang ekonom Italia, yang menyatakan bahwa 80% pendapatan di Italia dimiliki oleh 20% populasi. Prinsip Pareto ini tidak jarang ditemukan dalam kehidupan nyata, misalnya, Microsoft melaporkan bahwa dengan memperbaiki 20% computer bugs yang paling sering dilaporkan, 80% pengguna tidak menemukan bug apapun.

Dengan mengasumsikan bahwa secara umum fenomena atau sistem yang kita kaji juga mengikuti Hukum Pareto dimana hanya sekitar 20% dari seluruh elemen sistem yang berkontribusi kepada 80% fungsi seluruh sistem, maka untuk mencapai pengenalan atau membangun model dari suatu sistem dengan tingkat minimal 80%, maka kita cukup mengkonsentrasikan seluruh upaya berpikir kita kepada 20% dari seluruh elemen sistem yang memang paling penting. Untuk mengetahui manakah elemen yang termasuk 20% ini, kita perlu mengetahui fungsi elemen dan hubungannya dengan fungsi-fungsi utama sistem. Dengan memperhatikan pola hubungan antarelemen sistem, kita akan mampu memilah-milah manakah elemen inti dan elemen pendukung dari sebuah sistem.

Sebagai contoh sederhana, pada umumnya sebuah panitia kamp mahasiswa terdiri dari beberapa seksi seperti seksi acara, seksi transportasi dan akomodasi, seksi keamanan, seksi dana, dan seksi konsumsi. Sekarang, bergantung kepada apakah tujuan utama dari kamp tersebut, kita dapat mengetahui manakah seksi yang menjadi inti dan manakah seksi yang berfungsi sebagai pendukung. Andaikata kamp itu disebut berhasil jika seluruh peserta kamp memahami dan mencamkan tema dan semangat dari kamp tersebut, maka dapat dikatakan bahwa seksi acara merupakan elemen inti dari sistem panitia kamp tersebut. Dengan demikian, jika panitia ingin kamp berlangsung 80% sukses, maka seksi acara harus mendapat fokus utama dari seluruh upaya panitia. Tentu saja, karena kita orang Kristen yang seharusnya bertekad selalu memberi yang terbaik yaitu nilai 10, lalu mengapa cukup berpuas diri hanya dengan angka 8 bukan?

Seperti bagian-bagian sebelumnya, mari kita berefleksi sejenak dari bagian ini. Jika Anda memandang diri dan hidup Anda sebagai sebuah sistem, maka aspek-aspek apa saja dari hidup Anda yang merupakan 20% bagian terpenting agar hidup Anda berhasil? Dari aspek-aspek yang dapat Anda sebutkan itu, apakah yang dapat Anda katakan tentang apa hal paling penting yang sangat ingin Anda capai dalam hidup Anda? Sudahkah Anda lebih dulu fokus kepada 20% aspek penting itu atau justru sebaliknya mengabaikannya dan malah fokus kepada aspek-aspek yang sebenarnya jauh kalah penting?

* http://en.wikipedia.org/wiki/Pareto_principle

Bersambung...

Berpikir Sistematis Secara Kristen (3/7)

3. FENOMENA, SISTEM, ANALISIS DAN SINTESIS

Setelah kita mampu mendefinisikan titik awal dan titik akhir di atas, maka sudah saatnya kita mulai proses berpikir sistematis. Berpikir sistematis berintikan pada kata pikir dan sistem. Saat ini saya perlu memperkenalkan secara sederhana beberapa istilah yang sering digunakan dalam tulisan ini yaitu fenomena, sistem, analisis, dan sintesis *.

Fenomena adalah segala sesuatu yang dapat dibayangkan oleh manusia atau dengannya manusia dapat berinteraksi melalui inderanya. Jika kita perhatikan baik-baik, sangat sulit menemukan sebuah fenomena yang hanya terdiri dari fenomena itu sendiri sebagai entitas tunggal. Fenomena ini membawa kita kepada sistem yang secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah fenomena yang memiliki dua ciri dasar, yaitu (1) terdiri dari elemen-elemen yang membentuknya atau menentukan karakteristiknya dimana setiap atau sekelompok elemen memiliki fungsi masing-masing yang mengkonstruksi fungsi-fungsi seluruh sistem, dan (2) pola keterkaitan atau interaksi antarelemen yang membentuk hubungan sebab-akibat dan/atau transfer massa-informasi. Sebagai contoh, jam tangan yang mungkin sedang Anda pakai di lengan Anda dapat kita pandang sebagai satu fenomena semata atau sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen yang memiliki pola interaksi tertentu sehingga jam tersebut dapat berfungsi dengan baik. Beberapa elemen jam tangan tersebut adalah mesin jam, badan jam yang memuat dan melindungi mesin, tali atau rantai jam dari kulit atau logam, serta konektor yang menghubungkan dan mengunci kedua ujung tali atau rantai jam sehingga jam itu bisa melingkar manis menghiasi lengan Anda dan melayani Anda dengan menunjukkan waktu setiap saat Anda perlukan.

Kerap kali elemen dari sebuah sistem sejatinya merupakan sebuah sistem tersendiri yang terdiri dari elemen-elemen yang lebih kecil. Elemen demikian dapat kita sebut sebagai sebuah subsistem. Sebagai contoh, mesin jam di atas merupakan sebuah subsistem dari sebuah sistem jam tangan dan ia terdiri dari komponen-komponen yang lebih elementer dengan pola interaksi yang kompleks, seperti sekian banyak roda gigi berukuran kecil, mur dan baut, dan sejumlah jarum jam yang menunjukkan jam, menit, dan detik. Semakin kompleks sebuah sistem, tentu semakin banyak pula tingkat subsistem yang membentuknya.

Berdasarkan konsep fenomena dan sistem di atas, kita dapat memberikan definisi lain untuk proses berpikir. Secara sederhana, saya dapat katakan bahwa seseorang disebut berpikir tentang sesuatu jika ia memandang sesuatu itu tidak lagi sebagai fenomena tetapi sebagai sistem dengan kompleksitasnya. Dua orang sedang memandang bulan purnama tetapi isi pikirannya bisa berbeda. Satu orang memandang bulan hanya sebagai fenomena yang artinya ia tahu bulan yang dilihatnya itu ada tetapi cukup sampai di sana. Orang kedua tidak hanya sadar sepenuhnya bahwa bulan purnama itu ada, tetapi lebih dari itu, ia memandang bulan purnama sebagai sebuah objek yang berbentuk bulat, berwarna putih, memancarkan cahaya, dan muncul secara periodik sekali dalam sebulan. Bagi saya, orang kedualah dan bukan orang pertama yang sedang berpikir tentang bulan purnama meski keduanya sedang memandangnya. Intinya, seseorang bisa saja sedang berinteraksi dengan sesuatu melalui inderanya tetapi orang itu tidak sedang berpikir tentang sesuatu itu. Masih ingatkah Anda kapankah terakhir kali Anda melihat seseorang sedang berada di depan Anda dan mendengar dia berbicara kepada Anda, tetapi Anda justru sedang sibuk memikirkan seseorang atau sesuatu yang lain nun jauh entah dimana?

Sekarang setelah kita mengetahui sistem, maka yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimanakah berpikir sistematis itu? Dengan memandang berpikir sistematis yang berbasis sistem itu sendiri sebagai sebuah sistem berpikir, maka berpikir sistematis mencakup dua cara berpikir besar, yaitu berpikir analitik (analisis) dan berpikir sintetik (sintesis). Secara sederhana, analisis adalah proses berpikir yang berintikan penguraian sebuah sistem menjadi elemen-elemen dan pola interaksi antarelemen lalu mempelajarinya untuk kemudian menghasilkan kesimpulan guna menjawab kebutuhan yang menjadi titik akhir berpikir. Artinya, dalam analisis, sistem yang hendak diurai sudah ada sebelum proses berpikir dimulai, yaitu sistem sudah ada di titik awal. Dalam analisis, setelah menentukan titik akhir, maka kita umumnya bergerak dari titik awal ke titik akhir. Dalam bidang ilmu, sains pada umumnya merupakan proses analisis.

Berkebalikan dengan itu, sintesis merupakan proses berpikir yang, melalui proses desain dan pemodelan, lebih dulu menempatkan sebuah sistem imajinatif yang hendak dikonstruksi di titik akhir dan kemudian berusaha membangunnya menurut desain atau model tersebut berdasarkan hasil analisis sistem yang sudah ada atau, jika belum, hasil penciptaan dan inovasi. Tentu saja sistem imajinatif yang hendak diwujudkan ini seharusnya lebih baik daripada sistem-sistem sejenis yang sudah ada dan ia dikonstruksi untuk menjawab kebutuhan yang belum mampu dipenuhi oleh sistem-sistem yang sudah ada itu. Berbeda dengan sains yang pada intinya merupakan proses analisis, maka bidang teknik atau ilmu rekayasa (engineering) pada intinya merupakan sintesis. Memperhatikan hubungan analisis dan sintesis, maka kita seharusnya dapat melihat bagaimana science dan engineering bekerja sama dan saling melengkapi dalam mengatasi persoalan-persoalan yang manusia hadapi. Lalu, dimanakah matematika dalam hal ini? Bagi saya, matematika pada dasarnya dapat dipandang sebagai bahasa yang digunakan dalam sains dan ilmu rekayasa serta dalam komunikasi antara keduanya sehingga tercipta saling pengertian dan pemahaman yang benar dan konsisten.

Sebuah sistem dapat digambarkan secara baik dengan berbagai cara. Dibandingkan dengan cara-cara yang umum digunakan seperti tabulasi dan daftar, saya menekankan visualisasi sistem dengan menggunakan peta pikiran (mind map) yang dipelopori dan dipopulerkan oleh Tony Buzan yang telah banyak menulis buku tentang konsep dan aplikasi peta pikiran. Peta pikiran sangat cocok tidak hanya dengan cara kerja otak manusia saat berpikir, tetapi juga dengan natur sistem dengan segala elemen dan interaksinya yang kompleks. Kali ini, saya tidak akan menjelaskan dengan detil tentang peta pikiran dan karenanya saya sarankan pembaca untuk merujuk berbagai literatur yang sudah banyak tersedia mengenai peta pikiran.

Sebagai refleksi dari bagian ini, seperti pernah dikatakan oleh Socrates bahwa an unexamined life is not worth living, pernahkah Anda menganalisis hidup seperti apakah yang sudah Anda hidupi selama ini? Pernahkah Anda mencoba membayangkan seperti apakah hidup dan diri Anda yang paling baik yang dapat Anda wujudkan? Jika ya, bagaimanakah Anda sudah mencoba mensintesis diri Anda menuju ke arah diri dan hidup yang Anda inginkan itu? Lalu, pertanyaan paling penting, bagaimanakah Anda menempatkan Allah di dalam seluruh proses itu?

* Saya berterima kasih kepada seorang mentor saya, Prof. Saswinadi Sasmojo, profesor emeritus bidang teknik kimia di Institut Teknologi Bandung, yang telah mengajarkan saya dasar-dasar tentang semua ini.

Bersambung...

Berpikir Sistematis Secara Kristen (2/7)

2. AWAL DAN AKHIR

Satu prinsip sangat penting dalam berpikir sistematis saya pinjam dari Stephen Covey * yaitu memulai dari akhir. Prinsip ini memang asing dari pemahaman orang pada umumnya yaitu memulai dari awal. Namun untuk dapat berpikir sistematis, kita perlu dan bahkan harus memulai dari akhir. Akhir yang saya maksud di sini adalah tujuan dari seluruh proses berpikir itu. Misalnya, kita berpikir tentang suatu sistem dengan tujuan memahami dengan baik bagaimana sistem tersebut bekerja sesuai dengan fungsinya. Maka akhir dari proses berpikir kita tentang sistem itu adalah ketika kita sepenuhnya mencapai tujuan.

Memulai dari akhir ini sangat penting dan berguna bagi kita dalam berpikir sebab titik akhir akan menentukan arah dan tujuan dari aktifitas berpikir kita. Fokus kepada tujuan akan mencegah kita dari ketersesatan dan memimpin kita menolak segala godaan untuk melenceng dari tujuan, semenarik apapun godaan itu. Arah akan menolong kita dalam menentukan pilihan-pilihan yang harus kita ambil saat berpikir, sementara tujuan akan memberitahu kita apakah proses berpikir kita sudah berhasil atau tidak. Dengan mengetahui akhir, kita juga akan mampu memperkirakan skala persoalan yang hendak kita pikirkan. Jika kita mengibaratkan proses berpikir sebagai perjalanan dari satu tempat ke tempat tujuan, maka mengetahui tempat tujuan itu menolong kita mengetahui berapa jauh jarak yang harus kita tempuh dan mengalkulasi persiapan dan perjuangan yang harus dilakukan untuk tiba di sana. Untuk merancang rute yang menghubungkan titik awal dan titik akhir, kita dapat menggunakan dua cara, yaitu bergerak dari awal ke akhir dan/atau dari akhir ke awal. Kalkulasi ini sangat menentukan semangat dan moral kita sebelum memulai perjalanan berpikir. Tidak ada yang lebih melemahkan semangat daripada mengetahui dari awal bahwa perjalanan mencapai titik akhir itu begitu panjang dan berat melebihi kemampuan kita seolah-olah ia merupakan perjalanan tanpa akhir. Sebaliknya, jika dari awal kita sudah tahu dan yakin bahwa kita mampu mencapai titik akhir, tentu kita akan bersemangat bukan? Ketika titik akhir berhasil kita capai, maka tidak hanya semangat kita makin menggelora, tetapi kita juga sudah melengkapi arti dari seluruh perjalanan berpikir tersebut.

Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana kita dapat menentukan akhir tersebut? Pertanyaan itu jelas mengasumsikan bahwa kitalah yang bertugas menentukan akhirnya. Tentu saja, ada saat orang lain menentukannya bagi kita dan jika demikian, akhir itu sudah jelas bagi kita. Tetapi jika kita yang harus menentukan titik akhir dari perjalanan berpikir tersebut, maka menurut saya, kita perlu mengenal dengan baik titik awalnya yang tidak lain merupakan kondisi kita saat kita hendak mulai berpikir. Karena kita tentu ingin agar pemanfaatan sumber daya yang kita miliki (waktu, tenaga, uang) untuk berpikir itu menjadi produktif, maka akhir proses berpikir itu seharusnya memenuhi kebutuhan penting atau keinginan yang belum terpenuhi saat kita hendak mulai berpikir. Jadi, sebenarnya memulai dari akhir saja belum tentu benar sebab pernyataan itu mengasumsikan bahwa kita sudah tahu titik akhirnya. Jika asumsi itu tidak terpenuhi, maka tentu kita harus mulai dengan mengenal titik awal dulu untuk dapat memulai dari akhir.

Kebutuhan yang saat ini belum terpenuhi itu tentu saja bergantung kepada kita masing-masing dan ini juga berarti bahwa titik akhir atau tujuan dari orang-orang yang berpikir tentang satu hal yang sama sangat mungkin berbeda-beda. Misalnya, tujuan seorang ketua partai politik dan seorang rakyat biasa yang memiliki hak pilih saat menganalisis Pemilu 2009 tentu bisa berbeda. Ketua partai politik itu bisa saja bertujuan untuk memperkirakan bagaimana partainya dapat mencapai target jumlah kursi legislatif, sementara tujuan rakyat biasa itu hanya untuk mengetahui apakah sebaiknya ia menggunakan hak pilihnya atau lebih baik ia golput saja. Karena itu, dalam berargumentasi atau berdiskusi, sangat penting untuk mencari tahu dua titik penting dari setiap pihak yang terlibat dalam diskusi, yaitu titik awal dan titik akhir dalam berpikir.

Secara singkat saya menyimpulkan bahwa dalam berpikir kita perlu menentukan dan memiliki dua titik yang tentunya terpisah satu sama lain, yaitu titik awal, atau kondisi saat kita hendak mulai berpikir, dan titik akhir, yaitu tujuan dan kondisi ideal yang hendak kita capai seusai berpikir. Bergerak dari sini, saya dapat mendefinisikan proses berpikir sebagai proses efektif untuk menentukan rute paling efisien yang menghubungkan dua titik tersebut dengan bergerak dari titik awal ke titik akhir dan/atau bergerak dari titik akhir menuju titik awal. Pada dasarnya, kita perlu mengenal titik awal dengan baik untuk mampu mendefinisikan titik akhir secara baik pula.

Sebagai renungan dan refleksi singkat dari bagian ini, jika Anda memandang hidup Anda dengan setiap tarikan dan hembusan nafasnya sebagai sebuah perjalanan, apakah Anda sudah mengetahui dengan jelas titik akhir hidup Anda yang Anda kehendaki? Dengan kata lain, apakah visi dan tujuan hidup Anda? Jika Anda telah memilikinya, dengan cara bagaimanakah Anda mengetahuinya? Apakah Anda yang menentukannya sendiri atau Anda mengetahuinya dari Sang Sumber Hidup? Seperti apakah akhir hidup yang Anda inginkan sehingga, jika akhirnya Anda mencapainya, Anda yakin Anda telah menjalani sebuah perjalanan hidup yang berarti? Singkatnya, apakah Anda memulai dari akhir dalam hidup Anda?

* Covey, S., Seven Habits of Highly Effective People.

Bersambung...

Berpikir Sistematis Secara Kristen (1/7)

Tulisan ini sebagian besar telah disampaikan di Pendidikan Politik Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) di Sibolangit Sumatra Utara pada Sabtu, 27 September 2008.

--

Kemampuan untuk berpikir merupakan satu ciri sangat penting dari manusia yang membedakannya dari makhluk ciptaan lainnya. Kemampuan berpikir memampukan manusia untuk terus maju dan berkembang menjadi seperti saat ini. Dengan berpikir, manusia mampu mengemban Amanat Budaya dari Allah untuk menaklukkan bumi dengan mengenali dan mengatasi persoalan-persoalan yang dia hadapi. Dari Kitab Suci kita tahu bahwa manusia telah diberikan kemampuan berpikir sebelum jatuh ke dalam dosa. Namun, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah merusak segala sesuatu, termasuk kemampuan berpikir manusia. Setelah manusia berdosa, maka daya pikir, demikian juga segala kemampuan lainnya yang Allah beri, dapat dipergunakan manusia untuk tujuan yang baik atau buruk. Sayangnya, tidak sedikit manusia terkungkung dalam kondisi dimana ia bukan hanya tidak tahu atau tidak mampu mengoptimalkan dan mengembangkan kemampuan berpikir yang ia terima dari Penciptanya, tetapi lebih buruk dari itu, ia tidak tahu sama sekali betapa besarnya potensi daya pikir yang ia terima dari Tuhan Allah dan untuk tujuan apa itu semua telah diberikan. Keterkungkungan ini pun dapat terjadi pada potensi lainnya yang telah Allah beri kepada manusia. Kondisi yang menyedihkan ini sering kali dijadikan alat bagi kelompok manusia tertentu yang secara sengaja dan terencana membodohi kelompok manusia lainnya dengan semangat eksploitasi yang menindas dan membelenggu kemerdekaan seperti yang kerap kita saksikan di banyak tempat dan, barangkali, di sekitar kita juga.

Atas dasar hasil observasi, pembelajaran dan pengalaman hidup saya selama ini, tulisan ini saya susun untuk menjelaskan teknik-teknik berpikir sistematis yang diharapkan dapat mengembangkan potensi daya pikir yang dimiliki untuk menganalisis fenomena umum atau aktual untuk menarik kesimpulan yang tepat guna mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan. Namun, tujuan ini tidak boleh berhenti di sana sebab sangat mungkin, dengan naturnya yang berdosa, manusia yang sudah menguasai dan mengembangkan teknik-teknik ini lebih lanjut akan menggunakannya untuk maksud-maksud yang mendukakan bahkan melawan Allah. Karena itulah, teknik-teknik berpikir sistematis yang dijelaskan di sini dimaksudkan semata-mata untuk menjadi alat dan senjata kebenaran sebagai bentuk penyembahan kepada Allah untuk tujuan-tujuan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Kedua tujuan ini menjadi dasar mengapa judul tulisan ini menjadi seperti di atas, yaitu berpikir sistematis secara Kristen. Jika kedua tujuan ini tercapai, maka saya berharap orang Kristen, khususnya kalangan pemuda dan mahasiswa, mampu berkarya lebih efisien dan efektif di dunia sesuai dengan peran dan misi yang mereka terima dari Allah, semuanya dengan satu dan hanya satu tujuan: agar rencana-Nya digenapi demi kemuliaan-Nya. Mari kita mulai perjalanan ini.

1. KERANGKA BERPIKIR DAN TOLOK UKUR KEBENARAN

Bagian pertama ini memberikan koridor dan kerangka yang tidak hanya mengurung dan membatasi teknik-teknik berpikir sistematis yang akan dijelaskan tetapi juga memberi arah dengan memberikannya tujuan yang tepat sesuai kebenaran. Seluruh tulisan ini didasarkan kepada semangat dan prinsip bahwa berpikir adalah satu bentuk cinta dan penyembahan kepada Allah yang dikehendaki dan disukai-Nya dengan tujuan mengenali dan menaati kehendak Allah bagi manusia sebagai kebenaran demi penggenapan rencana Allah bagi kemuliaan-Nya (Markus 12:30, Roma 12:1-2). Seluruh tulisan ini juga didasarkan pada prinsip bahwa satu-satunya tolok ukur kebenaran yang digunakan adalah Kitab Suci yang dipahami dengan tepat, baik, dan benar. Dengan kata lain, segala yang dipaparkan di sini didasarkan pada Christian worldview. Pikiran dan hati yang dipenuhi, dikuasai dan dipimpin oleh Roh Kudus dan Firman Tuhan menjadi syarat mutlak untuk berpikir sistematis secara Kristen.

Totalitas akal budi yang Tuhan Yesus minta untuk mengasihi Allah seharusnya menjadi dasar semangat untuk terus belajar menggunakan dan mengembangkan daya pikir pemberian Allah yang potensi sebenarnya lebih besar dari yang dapat kita pikirkan. Untuk itu, dengan menerima sepenuhnya dan mencamkan prinsip-prinsip dan tujuan dasar dan paling utama ini, maka kita sudah memiliki bekal cukup untuk memperlengkapi diri untuk mampu berpikir sistematis secara Kristen. Ini penting sebab saya perlu mengingatkan bahwa beberapa konsep dari sumber-sumber non-Kristen akan digunakan dalam tulisan ini, namun semua itu akan tunduk sepenuhnya kepada prinsip-prinsip dan tujuan dasar di atas.

Bersambung...

Memerangi Kebodohan dan Obesitas Rohani

Aku diminta menulis untuk INFO Perkantas Jabar edisi Januari 2009 dan ini tulisan yang aku submit. Ga tahu juga apa bakal diterima, moga2 ga terlalu keras. Semoga berguna.

--

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang membangun rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya. (Matius 7:24-27)

Ada satu hal yang sangat menarik dari perkataan Tuhan Yesus di atas. Baik orang bijaksana dan orang bodoh sama-sama mendengar Firman Tuhan. Perbedaan antara orang bijaksana dan orang bodoh di mata Tuhan Yesus bukan apakah mereka mendengar atau tidak mendengar Firman Tuhan, tetapi apakah mereka melakukan atau tidak melakukan Firman Tuhan yang telah mereka dengar. Bagi Tuhan, yang membuat segala sesuatu berbeda bukan soal mendengar, tapi soal melakukan Firman-Nya.

Dari sini kita dapat membuat empat kuadran. Kuadran Pertama yaitu orang yang tidak mendengar dan juga tidak melakukan Firman Tuhan. Ini sebuah keniscayaan. Di Kuadran Kedua adalah orang yang tidak mendengar Firman Tuhan tapi melakukannya. Ini adalah sebuah kemustahilan. Tuhan Yesus membicarakan dua kuadran terakhir. Orang yang mendengar Firman Tuhan tapi tidak melakukannya berada di Kuadran Ketiga yang, dalam istilah saya, mengalami obesitas rohani. Tentu kita tahu siapa yang berada di Kuadran Keempat, bukan?

Berbeda dengan manusia, Tuhan menilai manusia dengan cara pandang rohani. Secara sederhana kita dapat mendefinisikan tingkat kebijaksanaan, kesehatan atau kedewasan rohani sebagai rasio pendengaran/pengetahuan seseorang akan Firman Tuhan terhadap penerapan Firman Tuhan yang telah diketahui. Obesitas rohani adalah kondisi jika nilai rasio itu sudah kelewat besar. Ibarat orang yang mengalami obesitas fisik akibat terlalu banyak makan tetapi terlalu sedikit bergerak, maka orang yang mengidap obesitas rohani 'terlalu banyak' mendengar Firman Tuhan tetapi 'terlalu sedikit' melakukan Firman Tuhan yang telah didengarnya itu.

Jika kita mencoba sejenak menggunakan cara pandang Tuhan tadi untuk melihat kepada siswa/mahasiswa yang telah menikmati pelayanan Perkantas dan alumni Perkantas, bagaimanakah yang paling banyak kita lihat? Apakah secara rohani mereka bertubuh kekar, tegap dan siap berperang, ataukah tubuh mereka justru miskin akan otot-otot rohani yang terlatih dan malah kaya akan timbunan lemak-lemak rohani? Bukan sekali dua kita mendengar keluhan dan pertanyaan mengapa dari begitu banyak mahasiswa yang telah dibina di Perkantas, jumlah mereka yang menggenapi visi Perkantas saat menjadi alumni masih jauh dari yang diharapkan? Dari segi pendengaran dan pengetahuan akan Firman Tuhan, siswa/mahasiswa binaan Perkantas bisa dikatakan termasuk berkelimpahan. Bukankah kelompok kecil katanya ujung tombak pelayanan Perkantas dari dulu, lengkap dengan berbagai buku-buku penuntunnya? Lihat saja persekutuan mingguan, berbagai eksposisi, pembinaan doktrin, pelatihan, retret dan kamp berhari-hari yang berbiaya tidak sedikit, yang dilayani oleh staf-staf lapangan penuh waktu yang berdedikasi dan kompeten. Cukup tepat jika Perkantas diibaratkan sebagai lumbung makanan rohani kaya gizi. Lalu, mengapa keluhan dan pertanyaan di atas tidak jarang terdengar sampai sekarang?

Tahun 2009 telah terbentang di depan kita. Dengan semangat baru, mari kita menjadi semakin bijaksana dan bukan semakin bodoh. Mari kita semakin bersungguh-sungguh melatih dan memperkuat otot-otot rohani kita dengan melakukan Firman Tuhan yang sudah kita pelajari dan ketahui. Mari kita hidup tidak hanya menjadi pendengar Firman tapi, yang terutama dan paling penting, menjadi pelaku Firman, sehingga rumah hidup kita, rumah keluarga kita, rumah pekerjaan dan rumah pelayanan kita, semuanya kita bangun di atas batu dan bukan di atas pasir, siap menantang segala hujan, banjir dan angin di tahun baru ini, yang menurut banyak pengamat merupakan tahun yang sulit. Semuanya untuk satu dan hanya satu tujuan, yaitu
kemuliaan Allah Tritunggal. Selamat Tahun Baru. Semoga Tuhan menolong Anda dan saya.

Kulkas raksasa merekTrondheim

Akhirnya aku kembali menulis! Sekitar empat bulan aku memang ga update blog karena kembali ke Indonesia dan menjadi fakir bandwidth, kalo dibandingin sama waktu di Eindhoven dulu. Wah, banyak banget sebenernya yang mau aku tulis, terutama sih pengalaman2 dan pelajaran2 berharga selama dua tahun di Belanda. Selain itu empat bulan selama Sep - Des 2008 kemarin itu bener2 waktu2 yang sangat menentukan sebab selama itu aku diperhadapkan dengan beberapa pilihan keputusan yang berdampak jangka panjang dalam hidupku. Melalui waktu2 ini aku juga banyak sekali belajar, meski menyakitkan. Aku pengen share juga yang terakhir ini nanti.

13 Januari menjadi awal sebuah bab baru dalam hidupku. Bab itu berjudul PhD di NTNU Trondheim, Norway. Menurut kontrak dengan NTNU sih, aku akan tulis bab ini bersama Tuhan selama 4 tahun ke depan. Cuma kata teman di sini, biasanya sih selesaikan PhD di NTNU lebih dari 4 tahun, yah normally nambah 6 bulan lagi. Bab kali ini diawali dengan cerita perjuangan seorang anak manusia menyelesaikan perjalanan yang begitu panjang. Aku berangkat dari Cengkareng Jakarta 13 Jan pukul 18.30 lalu sampe di Schiphol Amsterdam besok paginya jam 6. Lalu aku cari tiket untuk lanjut ke Trondheim dan syukur dapet tiket SAS cuma transit bentar di Oslo. Ini tiket termurah yang bisa kudapat, sekitar EUR 271. Aku tiba di Vaernes Airport Trondheim sekitar jam 12 siang, langsung naik bus dilanjutkan naik taksi ke NTNU. Singkat cerita, akhirnya aku sampai juga di kamar yang udah disiapin buatku di sini sore harinya. Wuiih, badanku capeeek banget waktu itu, belum lagi dinginnya Trondheim yang lagi menggila, waktu itu -12 C. Man! Bener2 deh, aku tahu di mana aku berada sekarang, yaitu di kulkas raksasa merek Trondheim.

Banyak cerita selama dua hari aku di sini. Nanti aku akan share lagi lah. Oya, aku mau ngucapin makasih banget buat temen2 orang Indonesia di Trondheim yang udah membantu kasih info selama persiapan mau ke Trondheim, yaitu Bang Hardy Siahaan, Hans Panjaitan, dan Linda Gunawan, semuanya anak ITB man. Buat Bang Hardy dan Hans, semoga bisa ketemu kapan2 yah. Sekali lagi, thanks a lot and God bless you all.