Thursday, January 29, 2009

Ivan dan Ukraina

Menurut jadwal yang saya rencanakan, malam ini seharusnya saya belajar, tetapi saya putuskan untuk menuliskan kisah percakapan saya dengan rekan sekerja di ruangan saya yang baru tiba dua hari lalu dari Ukraina. Kata orang bijak, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Karena itu pula saya segera menuliskannya, karena dua alasan: mengikuti kata orang bijak itu, dan karena menurut saya apa yang kami bicarakan tadi itu penting.

Saya senang bertemu, mendengar, berbincang-bincang dan belajar dari banyak orang, terutama dari latar belakang yang berbeda, apalagi dari bangsa lain. Saya yakin kita bisa belajar dari hidup siapa saja, entah itu dari keberhasilan atau kegagalan, kisah gembira atau duka, orang kaya atau miskin. Dua hari yang lalu, saya mendapat teman satu ruangan yang baru, sebut saja namanya Ivan dari Ukraina. Umurnya 28 tahun, sama seperti saya. Kami sudah berkenalan dan ngobrol singkat beberapa kali, tapi waktu tadi mau pulang ke rumah, saya sempatkan untuk menyapanya dan ngobrol lebih lama, yang ternyata menjadi sebuah kisah tentang perjalanan hidupnya dan tentang sebuah bangsa yang besar, bangsa Rusia.

Bangsa yang satu ini memang selalu menarik bagi saya. Satu penyebabnya adalah karena cukup seringnya saya bertemu nama-nama Rusia di berbagai buku teks, paper dan jurnal ilmiah yang lewat di depan mata saya. Pertanyaan saya, mengapa bangsa ini memiliki begitu banyak ilmuwan hebat? Itu juga pertanyaan saya kepadanya, memulai pembicaraan kami. Apa yang saya ceritakan ini adalah versi sederhana dan kompak dari apa yang diceritakannya kepada saya dan refleksi saya tentangnya. Anda boleh setuju boleh tidak, sebab cerita ini memang tidak butuh persetujuan siapapun. Namanya juga cerita.

Jawaban atas pertanyaan saya tadi adalah, karena ternyata bangsa Rusia memiliki sistem pendidikan yang mampu sedemikian memotivasi para siswanya untuk belajar dan mengerti matematika, ilmu alam, dan sastra. Sistem pendidikan ini telah berlangsung selama lebih dari 300 tahun, dan di dalamnya matematika merupakan ilmu yang paling dominan. Di Rusia (sebelum pecah), untuk tiap bidang ilmu ada kompetisi yang dapat diikuti oleh siswa, mulai dari tingkat sekolah, lokal, kota, propinsi, hingga nasional dan internasional. Ada kompetisi untuk matematika, untuk fisika, untuk kimia, semuanya, termasuk juga untuk olahraga. Suasana kompetisi ini benar-benar dirayakan oleh siswa dan mereka yang berhasil ikut apalagi menjadi juara di kompetisi-kompetisi ini menjadi idola dan pembicaraan di sekolah dan lingkungan. Tapi dengan adanya kompetisi-kompetisi itu, ternyata sekolah Rusia tidak mengenal ranking di kelas dan umum, yang membandingkan satu anak dengan anak yang lain.

Mengapa para siswa ini termotivasi dan semangat untuk belajar, bahkan lebih dari yang mereka dapat di sekolah, untuk ikut kompetisi? Ivan menjawab, kuncinya adalah Rusia memiliki guru-guru matematika, ilmu alam dan sastra yang sangat kompeten, semua minimal bergelar setara master, mencintai ilmu yang ditekuni dan diajarkannya, sehingga mereka pun sangat bagus dalam menjelaskan ilmunya kepada siswa. Guru-guru Rusia waktu itu mampu membuat siswa-siswa Rusia melihat keindahan di balik matematika, ilmu alam, dan sastra. Keindahan yang mereka telah lihat ini membuat mereka ingin melihat lebih banyak keindahan lagi. Selain itu, siswa-siswa Rusia tidak perlu bayar uang sekolah dan uang buku sebab pendidikan dan buku semua gratis, termasuk buku tulis dan alat-alat tulis. Semua buku disusun oleh pemerintah pusat untuk menjamin kualitas dan update dilakukan sekali lima tahun.

Tidak jarang, siswa yang tertarik untuk belajar satu bidang ilmu lebih dalam dengan leluasa dapat datang kepada gurunya untuk belajar. Guru itu pun dengan senang hati mengajar siswa tersebut hingga puas. Ivan bercerita, tak jarang guru bisa habiskan berjam-jam dengan seorang siswa yang sangat tertarik dengan bidang ilmu sang guru. Kata Ivan, matematika dan ilmu alam yang standar dipelajari di sekolah setara SMA di Rusia sudah mencapai taraf sarjana tingkat dua. Kalau begitu, bayangkan saja, jika seorang siswa SMA yang sangat tertarik matematika belajar lebih banyak kepada seorang guru matematika bergelar master lulusan universitas Rusia! Siswa-siswa seperti ini mungkin akan lebih mengerti matematika daripada seorang sarjana matematika, kata Ivan, sebab level matematika yang dibutuhkan untuk ikut kompetisi memang di atas apa yang standar diajarkan di sekolah.

Saya yakin, Ivan benar-benar mengalami semua yang diceritakannya, sebab dia suka sekali matematika, sampai-sampai dia mempersiapkan dirinya tiga tahun untuk bertarung di ujian masuk universitas tingkat nasional di Rusia. Tujuannya cuma satu: menjadi mahasiswa di Departemen Matematika Lomonosov Moscow State University, universitas terbaik di Rusia dan salah satu yang terbaik di dunia untuk bidang matematika. Dia sudah malang melintang di berbagai kompetisi matematika, fisika dan kimia dari tingkat sekolah hingga nasional. Selama tiga tahun itu, ia bahkan kursus jarak jauh khusus bidang matematika. Tiap minggu ia terima materi advanced mathematics dari Moscow, ia kerjakan semua soal-soalnya dan akhir minggu dia kirim semua kembali ke Moscow. Jawabannya akan dia terima kemudian lewat pos. Demikian seterusnya, tiap minggu, selama tiga tahun.

Lalu dia pun ikut ujian nasional itu. Di sana, khusus bagi mereka yang memilih Departemen Matematika di universitas tersebut, tingkat kesulitan soal-soal matematikanya benar-benar menantang, kata Ivan. Dia juga harus mengerjakan soal-soal fisika, kimia, bahasa Inggris, dan sastra Rusia. Sayang, meski dia sudah berusaha demikian keras, dia tak berhasil. Saya sendiri tidak bisa membayangkan, kalau siswa berbakat seperti Ivan saja tidak lulus, lalu betapa briliannya para mahasiswa yang berhasil diterima di Departemen Matematika universitas paling bergengsi tersebut!

Menurut Ivan, sistem pendidikan yang menekankan matematika ini dimulai dari kembalinya para ilmuwan Rusia yang belajar di Jerman ke Rusia, seperti Mendeleyev, Lomonosov, dan Kolmogorov. Mereka lalu mengusulkan kepada kaisar untuk menjadikan matematika dasar dalam pendidikan Rusia dan kaisar merestui. Sejak itulah, dengan menguasai matematika dengan kuatnya, Rusia pun mampu untuk menguasai dengan cepat pula ilmu alam seperti fisika dan kimia, sebab di puncak-puncak gunung ilmu, kita akan menemukan kesamaan bahasa, yaitu matematika. Dengan menguasai ilmu dasar pula, maka Rusia mampu menguasai dan mengembangkan teknologi mereka sendiri yang bahkan mampu membuat Amerika takut.

Tapi setelah menceritakan itu semua, nada suara Ivan berubah. Semua itu adalah masa lalu, kata Ivan, waktu Rusia belum pecah. Sekarang, katanya, setelah 19 tahun pecah dari Rusia, kondisi benar-benar berubah. Guru-guru yang benar-benar bagus sudah pergi ke luar negeri, ke Eropa, Amerika atau Israel, atau mereka berhenti jadi guru dan mengerjakan pekerjaan lain karena semakin sulitnya hidup. Guru-guru yang ada di sekolah-sekolah sekanang sudah jauh menurun kualitasnya. Semangat kompetisi sudah mengabur. Kalau dulu Rusia yang berjaya di berbagai kompetisi sains internasional dan Cina hanya bisa menguntit di runner-up, kini Cina merajalela. Remaja dan siswa di Ukraina sekarang lebih malas untuk belajar. Yang menjadi idola dan pembicaraan di sekolah bukan mereka yang ikut dan menjuarai kompetisi ilmiah, tapi mereka yang jago main Counter Strike atau Half-Life, dua computer game yang top di Ukraina. Sebaliknya, siswa dan remaja yang rajin belajar dan tertarik dengan ilmu justru bahkan dicemooh. Siaran TV dari Barat dan internet benar-benar membuat kondisi makin buruk, ditambah dengan berbagai teknologi dan gadget seperti IPod dan ponsel. Kata Ivan pula, kalau dulu pria yang berpendidikan tinggi diincar oleh para gadis, sekarang mereka justru tertarik pada grup band, pengusaha kaya, atau anggota mafia. Satu kalimat yang diucapkan Ivan ini tak akan pernah saya lupa: "Jika keadaan seperti ini terus, aku tak tahu akan seperti apa buramnya masa depan negeriku."

Kalimat Ivan tadi terngiang-ngiang di kepala saya sambil saya pulang ke rumah dan masak untuk makan malam saya. Sungguh saya tak menduga, di balik pribadi teman seruangan saya yang awalnya terkesan pendiam itu, tersimpan kepedulian besar untuk bangsanya. Kondisi yang tak jauh berbeda juga sedang terjadi di Indonesia bukan? Coba saja bandingkan anak sekolah sepuluh tahun lalu dengan anak sekolah zaman sekarang. Lalu bagaimana? Jawabannya saya serahkan kepada kita sendiri. Setidaknya saya sudah coba melakukan sesuatu dengan menghabiskan satu jam lebih untuk menceritakan semua ini. Semoga saja.

2 comments:

bocahbancar said...

Maz ceritanya Inspired banget...

Saya membaca dari awal hingga akhir kalimat yang Anda tuliskan..

Bangsa lain yang sudah pernah mencapai puncak ilmu pengetahuan di asalnya saja masih sangat was-was(tentu saja di sana tidak kurang orang pintar) but di negara kita yang tidka pernah mencapai masa keemasan itu malah terjerebab pada kehidupan hedonisme yang tak karuan arah haluannya..

Semoga saja para pemuda kita, yang mendapat piala emas dalam olimpiade-olimpiade yang didadakan baru baru ini bisa menjadi pemicu semangat bagi kita semua, dan tentu saja mereka harusnya dipegang oleh pemerintah untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi negara kita tercinta ini..

Saya pun bingung, negara ini mesti diperbaiki dengan mulai dari mana dulu, but yang saya yakini, dengan melakukan yang terbaik dari dalam diri saya, Insyaallah akan ada gunanya, meskipun hanya bisa mengajari baca tulis masyarakat terpencil di pedesaan saja(sungguh ironis masyarakat kita masih banyak yang buta huruf)..

Saya yakin Maz, Anda pun adalah seorang yang hebat, jangan pernah malu dan enggan untuk sumbangsih bagi negeri ini Maz..>Semangat..

mauritz panggabean said...

Halo Mas,

Thanks untuk commen-nya. Saya ini manusia biasa aja, yang masih terus belajar dan berbenah. Saya setuju dengan kata-kata Mas, "Saya pun bingung, negara ini mesti diperbaiki dengan mulai dari mana dulu, but yang saya yakini, dengan melakukan yang terbaik dari dalam diri saya." Let's do it together, wherever you and I serve.