Friday, January 16, 2009

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (2/7)

Sebelum kita memikirkan dan mencari rasa atau ciri sejati mahasiswa Indonesia, sebaiknya kita lebih dulu memikirkan dan menjawab pertanyaan penting ini, yaitu "Siapa itu mahasiswa Indonesia?" Ya Saudara-saudara, jika hari ini Saudara ditanya "Siapa itu mahasiswa Indonesia hari ini?", apakah yang muncul pertama kali di benak Saudara? Pertanyaan itu mengingatkan saya akan ceramah Mochtar Lubis tiga puluh satu tahun yang lalu di Taman Ismail Marzuki tentang "Manusia Indonesia". Dalam ceramahnya, Mochtar Lubis bertanya "Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apakah dia memang ada? Dimana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?" Lalu ia menjawabnya dengan beberapa ciri umum yang ia lihat dari manusia Indonesia. Mari kita coba bercermin sejenak dari kata-kata Mochtar Lubis sambil menguji apakah observasinya itu benar atau keliru.

Menurut Mochtar Lubis, ciri umum pertama manusia Indonesia adalah munafik. Kalau tidak percaya, coba saja dengar rekaman pembicaraan telepon jaksa ketua kejaksaan negeri di Gorontalo yang baru-baru ini bocor ke masyarakat sampai pak jaksa itu dipecat dan karirnya hancur. Bagi saya, musuh kemunafikan adalah integritas. Definisi sederhana tapi tepat dari integritas yang saya suka ada dalam sebuah lagu ini: "May we be a people, a people of integrity: being who we say we are and doing what we say." Kemunafikan adalah kebalikan dari semua itu.

Ciri umum kedua manusia Indonesia, kata Mochtar Lubis, adalah "segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya." Bukankah sering kita dengar, kalau terjadi kegagalan, kesalahan atau bencana di republik ini, maka sang pejabat dengan piawai mengelak bertanggung jawab dan dengan gampangnya menyalahkan bawahan, sementara si bawahan berusaha membela diri dengan alasan, "Saya hanya melaksanakan perintah atasan"? Atau, kalau mau lebih mudah, bukankah mudah sekali tinggal menyalahkan Tuhan dengan mengatakan semua itu bukan human error, tapi murni bencana alam. "Halah, gitu aja kok repot!?," begitu kata manusia Indonesia. Atau, coba saja perhatikan dagelan ngeles dari tokoh-tokoh republik ini yang terkait kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR yang masih hangat. Atau, perhatikan tingkah polah sok polos dan keranjingan lupa dari para tersangka koruptor yang kasusnya masih diproses hingga detik ini.

Ciri umum ketiga dari manusia Indonesia adalah berjiwa feodal yang sudah berurat berakar, tidak hanya di kalangan atas, tetapi juga di kalangan bawah. Bukankah banyak penguasa di republik ini cepat sekali panas kupingnya jika dikritik, tetapi begitu senang dipuji, meski pujian itu kosong bahkan sebenarnya bohong? Begitu pula, rasanya tidak sulit menemukan di republik ini orang yang hidupnya sukses karena menjilat ke atas, menyikut ke samping, dan menendang ke bawah. Ciri umum keempat manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis adalah masih percaya takhyul, meski sudah berpendidikan tinggi. Lihat saja, kalau bukan karena ada pasar yang menguntungkan, bagaimana mungkin di layar TV kita berulang kali ditayangkan iklan dimana ada orang yang berani bilang kalau lahir pada hari Selasa Kliwon cocoknya bukan kerja di air, tapi jadi pedagang?? Lantas, kalau punya bisnis tambak udang yang harus kerja di air, apa itu bukannya pedagang? Meski tak masuk di akal, anehnya, masih ada saja manusia Indonesia yang percaya hal-hal bodoh semacam itu.

Masih ada beberapa ciri umum negatif lainnya dari manusia Indonesia, menurut Mochtar Lubis. Semoga kuping Saudara masih belum terlalu panas untuk mendengarnya. Katanya, manusia Indonesia itu umumnya punya watak yang lemah, karakternya kurang kuat. Mereka mudah mengubah keyakinannya atas nama survival, apalagi jika dipaksa. Tidak hanya itu, manusia Indonesia umumnya juga tidak hemat, boros dan senang belanja, meski uangnya belum ada alias kredit. Manusia Indonesia umumnya juga tidak suka bekerja keras, kecuali terpaksa atau diawasi. Keinginannya gimana supaya sukses instan, cepat kaya, dan gampang punya gelar tinggi sampai doktor biar disegani, meski cuma dibeli dengan sekian lembar kertas warna merah yang, ironisnya, bergambar Soekarno-Hatta.

Mochtar Lubis belum puas sampai di sana. Di matanya, manusia Indonesia itu suka menggerutu dan mengkritik, cuma sayangnya tidak berani secara terbuka dan enggan mencarikan jalan keluar atau memberi diri jadi solusi. Manusia Indonesia juga akrab dengan kebiasaan susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah, apalagi orang itu musuhnya. Belum lagi kebiasaan manusia Indonesia yang suka dengan slogan-slogan yang sejatinya hampa akan arti dan makna. Kepribadian manusia Indonesia yang cenderung lemah juga membuatnya menjadi manusia tukang tiru, bukannya menjadi trendsetter tapi justru trend-follower, apalagi kalau sudah bicara apa yang lagi in di luar negeri sana.

Bersambung...

No comments: