Friday, January 16, 2009

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (4/7)

Kategori kedua saya beri label kejahatan akademik. Bagi saya, ini lebih parah dari yang pertama, sebab sudah merupakan kejahatan melawan hukum. Karena mahasiswa Indonesia sudah tidak punya hasrat untuk menguasai ilmu yang dipelajarinya, entah karena alasan apa, dan diperburuk dengan mental cepat lulus dengan IPK setinggi-tingginya, mahasiswa Indonesia lalu berteman karib dengan berbagai teknik kreatif untuk menyontek dan mengopek waktu ujian atau mengerjakan tugas. Dengarlah gegap-gempita mahasiswa di ruang ujian ketika pengawas ujian yang masuk ke ruangan dan membawa berkas soal ternyata bukan dosen mata kuliah, tetapi pegawai tata usaha! Ah, jangankan pegawai tata usaha, sedangkan waktu dosennya sendiri yang mengawas ujian pun, mereka tidak takut dan tetap saja menyontek dengan lihainya. Meski isi kepalanya kosong, mahasiswa Indonesia yang menyontek itu toh tertawa-tawa bangga waktu nilai ujiannya A atau justru marah ketika dapat D atau E. Aksi pembohongan ini juga terjadi tidak hanya waktu ujian. Mengapa sering kali tanda tangan di absensi mahasiswa lebih banyak daripada yang hadir di kelas? Berani titip absen tanpa perasaan bersalah atau gelisah sudah umum bagi mahasiswa Indonesia. Bukankah ini bukti dasar bahwa mahasiswa Indonesia sudah kehilangan esensi dan tujuan sejati dari menjadi mahasiswa dan belajar di perguruan tinggi?

Ternyata dua kejahatan itu pun belum cukup, Saudara-saudara! Semangat instan yang mengalir kencang dalam urat mahasiswa Indonesia mendorong mereka untuk tidak lagi merasa bersalah ketika copy-paste tulisan orang lain dan mengklaimnya sebagai tulisannya sendiri. Ironisnya, umumnya tindak kejahatan plagiat semacam ini tidak diikuti dengan sedikit kreatifitas, minimal untuk mengedit atau memodifikasi apa yang dicurinya, yah supaya gak ketahuan lah. Benar-benar luar biasa! Coba Saudara pikir, kalau maling ayam yang cuma lulus SMP saja masih berusaha menghilangkan jejak setelah mencuri, lalu apa yang bisa kita katakan tentang mahasiswa Indonesia yang bisanya plagiat bulat-bulat tapi begitu malasnya untuk mengedit hasil copy-paste supaya tidak ketahuan? Saya persilakan Saudara-saudara sendiri yang menjawabnya.

Lalu bagaimana jika jurus titip absen, menyontek, mengopek, dan plagiat masih tidak cukup untuk menerapkan prinsip ekonomi saat mahasiswa, yaitu berhasil meraih nilai semaksimal mungkin dengan usaha seminimal mungkin? Kalau jurus di atas tak mempan juga, mahasiswa Indonesia ternyata tidak kurang akal, Saudara-saudara! Jurus sakti mandraguna milik mahasiswa Indonesia, yaitu suap pun akhirnya dipergunakan, sekali lagi, tanpa ada kegelisahan dalam hati.

Mahasiswa Indonesia macam ini berpikir, "Ah, emang gue pikirin apa kata orang. Yang penting kan aku cepat lulus, nilai bagus, IPK tinggi, cepat dapat kerja, orang tua senang, yang penting bebas lah dari tempat jahanam ini." Saudara-saudara, jika memang demikian taste atau rasa mahasiswa Indonesia, tidak heran jika korupsi dan aksi tipu-tipu menjadi prestasi internasional bangsa ini, sebab di ruang-ruang kelas universitas yang merupakan satu benteng terakhir moral bangsa pun, bibit-bibit dari semua kebusukan itu tumbuh subur dan lestari, bahkan kerap kali secara berjamaah. Sebab, akhirnya mahasiswa Indonesia macam ini kelak akan mengisi jabatan-jabatan policy maker di negeri ini, bukan? Saudara-saudara, jika mata air di hulu sungai sudah berbau busuk, mungkinkah air di hilir sungai akan berbau manis dan segar?

Bersambung...

No comments: