Friday, January 16, 2009

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (1/7)

Tulisan ini disampaikan oleh penulis di depan para mahasiswa Kristen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) pada Jumat, 24 Oktober 2008. Semoga berguna.

--

Siang hari ini saya diundang untuk menyampaikan ceramah di depan Saudara-saudara sekalian mengenai menjadi mahasiswa Indonesia yang intelektual. Judul yang diberikan kepada saya sangat tepat, yaitu "Mana taste-nya??" Menarik bahwa pertanyaan itu diakhiri dengan dua tanda tanya. Mengapa saya sebut ia tepat? Sebab, bagi saya, judul tersebut tidak hanya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masa kini, tetapi juga menyerang satu inti dari seluruh ceramah hari ini, yaitu persoalan taste atau rasa.

Beberapa tanda tanya yang mengakhiri sebuah pertanyaan pada dasarnya ingin menyatakan betapa urgen dan pentingnya pertanyaan itu dijawab dengan tepat. Jawaban yang memuaskan dari pertanyaan yang demikian urgen dan penting tentu akan begitu menyegarkan dan melegakan kita, ibarat aliran air sejuk di kerongkongan seorang musafir di padang pasir nan gersang. Bagi saya, pertanyaan demikian tidak hanya berkesan urgen dan penting, tetapi ia juga kerap kali sarat dengan nuansa geram atau bahkan marah dalam hati sang penanya. Sebagai contoh, itu tercermin dari bagaimana seharusnya kita menyuarakan pertanyaan di judul kita tadi. "Manaaa taste-nyaaa??" (dengan seruan) dan bukan "Mana taste-nya??" (datar, tanpa semangat).

Yang jadi pertanyaan sekarang ialah, taste atau rasa apakah yang sedang dipertanyakan keberadaannya di sini? Saudara-saudara, dalam empat puluh lima menit ke depan saya akan berbicara dan kita akan memikirkan tentang rasa sejati dari mahasiswa Indonesia, ciri sejati dari mahasiswa Indonesia. Dengan demikian, seruan pertanyaan tadi menjadi "Mana rasa sejati mahasiswa Indonesia??" "Mana ciri sejati mahasiswa Indonesia??"

Apakah yang Anda pikirkan ketika mendengar seruan tadi? Saudara-saudara, jika kita perhatikan baik-baik, seruan itu menyiratkan setidaknya dua hal penting. Pertama, bahwa jauh di dalam lubuk hati dan benak kita, kita sebenarnya tahu seperti apakah rasa atau ciri sejati mahasiswa itu. Dengan daya pikir kita, kita seharusnya tahu siapakah mahasiswa Indonesia yang sejati itu, meski mungkin samar-samar. Kalau kita tidak pernah tahu bagaimana rasa manis yang seharusnya dimiliki jeruk yang baik, maka saat kita mencicipi jeruk yang rasanya asam atau tawar, bagaimana mungkin kita bisa bertanya "Mana rasa manis jeruknya??" Begitu pula, jika kita tidak memiliki bayangan akan rasa atau ciri mahasiswa Indonesia yang sejati, maka bagaimana mungkin kita mengetahui jika rasa atau ciri sejati itu sudah tiada, bukan?

Kedua, pertanyaan "Mana ciri sejati mahasiswa Indonesia??" menyiratkan bahwa kesejatian mahasiswa Indonesia itu adalah sesuatu yang begitu berharga dan bernilai untuk diharapkan, namun sayangnya sudah sangat sulit ditemukan dalam buramnya potret mahasiswa Indonesia saat ini. Kita sadar sesuatu sudah hilang dan, parahnya, yang hilang itu sangat berharga dan kita sangat membutuhkannya. Ketika kita hendak menikmati sebuah jeruk dan tahu rasa jeruk yang baik, maka tentu kita mengharapkan kesegaran air sarinya yang manis, bukan? Itulah sebabnya, ketika jeruk yang kita makan itu ternyata tidak memiliki apa yang wajar kita harapkan darinya yaitu rasa manis, wajarlah kalau kita dengan jengkel bertanya, "Mana rasa manis jeruknya??" Atau bahkan mungkin kita akan bilang begini, "Ah, jeruk apaan nih? Sudah mahal-mahal kubeli, asam pula!" Akhirnya jeruk itu pun kita buang ke tanah dan kita pijak-pijak.

Bersambung...

3 comments:

AndJu With aNy Info said...

Hiii...
boleh kenalan nda???
saya Devi, putri Medan juga...

AndJu With aNy Info said...

J_lov_U

mauritz panggabean said...

Hi Devi, salam kenal juga.