Friday, January 16, 2009

Mendefinisikan Ulang Mahasiswa (Kristen) Indonesia Sejati (3/7)

Saudara-saudara, benarkah kata-kata Mochtar Lubis itu? Kalau kata-katanya menjadi cermin, lalu engkau dan saya melihat cuplikan wajah kita sendiri di sana hingga hatimu menjadi gelisah, maka kita sudah tahu jawabnya, bukan? Menarik sekali, ceramah Mochtar Lubis itu sudah tiga dekade lebih umurnya, tapi apa yang ia gambarkan masih juga belum masuk museum pada hari ini? Saudara-saudara, meminjam bahasa Mochtar Lubis, hari ini saya akan mengajak kita untuk memikirkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kita tinggalkan sejenak tadi: "Siapa itu mahasiswa Indonesia? Apakah dia memang ada? Dimana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?". Ngomong-ngomong, mengapa saya harus mulai dengan ceramah Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia? Jawabnya karena, bukankah mahasiswa Indonesia juga adalah manusia Indonesia?

Saya berprinsip bahwa hanya ada dua syarat perlu dan cukup bagi seorang sakit untuk akhirnya pergi berobat. Syarat pertama dan perlu, yaitu orang itu harus sadar sepenuhnya bahwa dirinya sakit, yaitu dengan mengenali dirinya dan membandingkannya dengan apa yang disebut sebagai kondisi sehat. Tetapi kesadaran dan pengetahuan bahwa ia sakit tidak serta-merta membuatnya bergegas pergi ke dokter. Kenapa bisa? Sebab tidak sedikit orang sakit yang sudah begitu mencintai sakitnya itu, bahkan ia merasa ia tak dapat hidup tanpanya. Bukankah pada dasarnya dosa itu menarik dan menyenangkan, Saudara? Karena itu, syarat kedua dan cukup agar orang sakit itu perlu berobat adalah, ia harus tiba kepada titik dimana ia begitu benci akan sakitnya itu dan begitu ingin untuk sembuh. Tiba di titik ini berarti telah memiliki cara pandang yang 180 derajat berubah dari cara pandang sebelumnya tentang sakitnya dan kebutuhannya untuk sehat.

Mari kita melihat seperti apakah mahasiswa Indonesia hari ini. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya sebagai seorang mantan mahasiswa dan dosen selama beberapa tahun, saya dapat mengelompokkan ciri-ciri negatif yang umum terasa dari mahasiswa Indonesia hari-hari ini ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu sebenarnya erat berkaitan satu sama lain, entah sebagai akibat atau sebab dari hal lainnya. Kategori pertama saya sebut sebagai pola pikir kontra-intelektual. Seperti umumnya manusia Indonesia a la Mochtar Lubis, kebanyakan mahasiswa Indonesia itu bertabiat malas. Kemalasan yang sering kali akut ini terlihat dari keseganan mahasiswa untuk bekerja keras dan memberi yang terbaik, melebihi apa yang diminta. Saudara dari kemalasan ini yaitu suka menunda-nunda, tercermin dari betapa akrabnya mahasiswa Indonesia dengan cara belajar sistem kebut semalam (SKS) yang sering berujung kepada prestasi yang jauh di bawah dari apa yang sebenarnya mampu dicapai.

Selain itu, mahasiswa Indonesia umumnya berorientasi hasil dan tidak peduli pada proses. Bagi mahasiswa Indonesia, yang paling penting adalah nilai dan IP setinggi-tingginya, tanpa ambil pusing dengan proses dan arti semua aktifitas kuliahnya yang berbiaya tidak sedikit itu. Tidak hanya belajar SKS, bagi mahasiswa semacam ini yang penting bisa menjawab soal ujian dengan benar, kalau perlu menghapal mati, tanpa mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Tujuan belajar di perguruan tinggi, kesempatan kuliah, mengerjakan tugas, dan semuanya, bagi mahasiswa Indonesia, telah tereduksi menjadi aktifitas atau bahkan sekadar permainan mengumpulkan sebanyak mungkin nilai A atau B, meski pemahamannya nol besar.

Ketiadaan niat untuk sungguh-sungguh mengerti ilmu yang dipelajari juga tergambar dari sangat rendahnya minat mahasiswa Indonesia untuk menggali dan mempelajari langsung buku teks yang biasanya dalam bahasa Inggris. Bagi mahasiswa Indonesia umumnya, mengunyah hasil kunyahan dosennya yang seringkali hanya berupa diktat bahkan fotokopian lembaran slide PowerPoint sudah cukup mengenyangkan kebutuhan intelektual mereka yang rendah. Mending kalau diktat atau slide itu berkualitas baik dan mudah dipahami! Lalu apa isi otak mereka kalau ternyata diktat dan slide yang dipelajari atau dihapal mati mahasiswa itu pun, sudah dangkal isinya, susah pula dibaca dan dimengerti? Ini diperburuk pula dengan ketidakberanian, kurangnya kreatifitas dan daya kritis mahasiswa Indonesia dalam berpikir, bertanya, dan bersikap. Mahasiswa Indonesia cenderung mudah menerima apa kata orang dan bulat-bulat menganggap benar apa yang diajarkan dosen, padahal mungkin saja itu sudah ketinggalan jaman atau bahkan keliru! Lalu benarkah semua ciri mahasiswa Indonesia itu? Jika ya, lha kok bisa? Jawabannya saya serahkan kepada Saudara-saudara sendiri.

Bersambung...

No comments: