Wednesday, July 30, 2008

Memilih pemimpin: Belajar dari JFK (1)

Ini cukilan dari posting saya di sebuah milis. Semoga berguna.

Kutipan:

Thread tentang memilih pemimpin muda ini mengingatkan saya pada apa yang saya baca beberapa hari yang lalu dari biografi terbaik Presiden John F Kennedy (JFK) berjudul A Thousand Days karya seorang sejarawan besar Amerika dan profesor Harvard, Arthur M. Schlesinger, Jr. Saya akan ringkaskan di bawah dari Bab V buku itu Gathering of The Forces bagaimana JFK memilih para menterinya dan membentuk kabinetnya setelah ia memenangkan pemilu presiden 1960 mengalahkan Richard Nixon dengan margin sangat tipis. Saya juga coba untuk menarik prinsip2 penting yang saya kira perlu dipelajari dari JFK. Saya akan coba tulis dalam beberapa posting (moga2 ada waktu untuk sempat nulis lagi hehe...), sehingga tidak terlalu panjang untuk dibaca dan karena itu saya mengganti nama thread ini. Mari kita mulai.

JFK hanya punya waktu 10 minggu untuk membentuk kabinet sebelum dilantik menjadi presiden. Jadi waktu tidak banyak, kecuali hanya berpuas diri dengan kabinet pelangi untuk menyenangkan semua orang. JFK cukup menguasai dunia legistatif tapi ia butuh bantuan untuk bidang eksekutif. Untuk itu ia menunjuk Clark Clifford, seorang pengacara yang sangat berpengalaman dengan daya analisis sangat tajam. Selain itu, JFK sangat dibantu oleh Richard Neustadt, seorang profesor brilian ilmu politik di Columbia University, yang mensuplai JFK dengan bertumpuk memoranda tajam dan komprehensif tentang kondisi US saat itu dan tentang pembentukan kabinet. Perhatikan percakapan menarik ini antara JFK dan Neustadt terutama kata2 JFK yang saya cetak tebal (maaf tanpa terjemahan):

(pp.49-50) Kennedy told Neustadt to elaborate his argument in further memoranda. '"When you finish," he said, "I want you to get the material back to me. I don't want you to send it to somebody else." Neustadt asked, "How do you want me to relate to Clark Clifford?" Kennedy replied quickly, "I don't want you to relate to Clark Clifford. I can't afford to confine myself to one set of advisers. If I did that, I would be on their leading strings."

Saya belajar lima prinsip penting dari bagian ini.

1. Sadarilah dengan rendah hati bahwa tidak mungkin kita tidak menguasai semua lini. Dengan kerendahan hati yang sama, carilah mentor yang sangat menguasai lini2 lain yang tidak kita kuasai dan dengarkanlah mereka baik2.

2. Memilih menteri itu agenda sangat penting. Tetapi agenda yang pertama dan tak kalah penting dari itu adalah memilih para mentor di atas yang tepat untuk menolong kita memilih orang yang tepat. Sama dengan para menteri itu, mentor2 harus lah dapat kita percaya penuh, kaya pengalaman, punya pikiran tajam dan bening, berani dan bukan yes-men, dan berintegritas. Perhatikan, saat itu JFK baru diperkenalkan dengan Neustadt namun ia segera impressed dengan Neustadt setelah berdiskusi dengannya.

3. Dalam memilih mentor, variasi dan independensi itu ternyata penting. Jangan sampai kita pilih mentor hanya dari satu kubu supaya wawasan kita lebih luas. Perhatikan bagaimana Clifford kuat di pengalaman praktis di rimba politik sementara Neustadt punya pisau analisis akademik yang tajam. Perhatikan pula mengapa Neustadt diminta JFK untuk bekerja independen dari Clifford dan hanya melapor bukan kepada siapapun kecuali JFK.

4. Mengapa JFK memilih hanya dua penasihat paling dekat dalam pembentukan kabinetnya? Saya tak tahu pasti. Namun satu hal yang pasti adalah ini: terlalu banyak penasihat juga tidak baik. Dalam hal ini, JFK pasti yakin dua orang itu sudah cukup.

5. Perhatikan kalimat JFK terakhir yang dicetak tebal di atas. Saya belajar dari sana bahwa JFK sadar keputusan terakhir hanya ada di tangannya sebagai presiden dan bukan di tangan penasihat atau orang lain. Dalam membuat keputusan inilah kualitas seorang pemimpin sejati ditentukan dan dinilai. Being a leader is a lonely job. Indeed, it is very lonely to be on the very top.

Bersambung.. .

Tuesday, July 22, 2008

Niat, Isi, dan Kemasan

Ini posting saya di sebuah milis. Semoga bermanfaat.

Kutipan:

Horas Appara X dan rekan2,

Setelah saya coba baca baik2 tulisan Amang Y dan tulisan appara di bawah, saya kok tidak melihat di tulisan Amang Y apa yang kamu pikirkan tentang pengkotak2an menurut usia. Mungkin saya salah, tapi saya sudah baca beberapa kali. Menurut saya, setelah saya coba pahami, statement Amang Y bahwa "X masih muda" tidak dimaksudkan untuk meng-counter argumen appara dengan memanfaatkan usia. Konteksnya dengan kalimat sebelumnya ("Semula saya kira kau sudah cukup berumur. Karena itu, saya panggil dengan "Amang".") bisa menjelaskan apa maksud sebenarnya dari statement itu. Saya yakin kelas Amang Y dalam berargumen tidak serendah itu, apalagi mengingat pengalaman dan gelar doktor beliau. Tiga atau empat paragraf terakhir dari posting beliau adalah argumen beliau terhadap appara yang perlu kamu pikirkan dan sebaiknya jawab juga :) . Oya, tentang counter meng-counter, Bang Z juga sudah dengan baik menulis beberapa posting tanggapan atas komentar2 mu, tapi saya perhatikan appara belum jawab satu pun. Semoga saya salah.

Jadi apa pesan inti yang saya tangkap dari posting Amang Y? Rasanya bukan soal usia seseorang boleh menyatakan pendapat, tapi tentang
CARA MENYATAKAN PENDAPAT.
Supaya menarik perhatian, sengaja saya tulis dengan huruf kapital cetak tebal dengan size lebih besar, jadi bukan karena saya marah hehehe.

Saya share sedikit, semoga berguna. Dalam berkomunikasi, satu yang saya pegang adalah selalu perhatikan NIAT, ISI dan KEMASAN. Isi, yaitu PESAN yang kita ingin sampaikan, niat yaitu ALASAN dan TUJUAN kita menyampaikan pesan itu, dan kemasan adalah cara kita menyampaikan pesan itu. Sampai sekarang saya terus coba belajar untuk punya NIAT baik, ISI yang baik dan KEMASAN yang baik dalam berkomunikasi. Niat baik maksudnya adalah untuk membangun, menjelaskan, menyelesaikan masalah, dll. Isi yang baik adalah pesan yang diusahakan tepat menjawab kebutuhan atau menyelesaikan persoalan. Kemasan yang baik adalah menyampaikannya dengan cara yang tepat sedemikian sehingga pesan yang kita ingin sampaikan diterima lawan bicara tanpa distorsi. Ini tidak mudah, jadi perlu terus belajar, apalagi di media text indirect yang sangat rentan dengan kesalahpahaman seperti email atau SMS. Itu makanya saya biasanya butuh waktu cukup lama untuk menulis email karena biasanya saya baca lagi apa yang saya tulis beberapa kali dan diedit dimana perlu. Saya senang di milis ini sebab ia merupakan tempat yang baik untuk berlatih.

Ada beberapa kesamaan kita appara yang coba aku pakai untuk mengerti latar belakangnya, seperti kita satu alumni yang mungkin kita rasa cukup untuk dibanggakan (karena masuknya susah, keluarnya lebih susah lagi ya hehe (kalau jujur dan tidak nyontek)), kita bisa diberi Tuhan kesempatan punya pengalaman kerja dan belajar di luar negeri di usia muda (karena itu semua dari Tuhan, jadi tak perlu membuat besar kepala ya), kita juga sama2 orang Batak (satu turunan pendekar lagi hehe) dan pernah dibina selama mahasiswa (setahu saya appara di Navigator Bandung kan? Saya dulu di Open House, Perkantas Jawa Barat).

Saya share sedikit lagi lah. Terus terang, seperti yang ditulis Bang B, saya memang orangnya dari dulu cenderung direct, no-nonsense, dan logical kalau bicara, apalagi kalau berdebat. Ditambah dulu agak pendiam dan terkesan serius, jadi saya beberapa kali diingatkan kakak2/abang2 bahwa banyak yang 'takut' kalau ngomong dengan saya. Tapi sekarang soal pendiam dan serius udah lumayan 'bertobat' bahkan sekarang kadang bisa bocor halus, cuma soal direct, logic dan no-nonsense itu masih, tapi sekarang sudah belajar bahwa ternyata humor itu sangat vital dalam berkomunikasi. Bicara direct/to-the- point/logic/ no-nonsense itu makin kuat setelah hampir dua tahun ini saya di Belanda karena memang saya cukup dipengaruhi oleh budaya dan nilai2 mereka yang saya anggap baik dan dibutuhkan di Indonesia.

Menjelang kepulangan ke Indonesia, jika melihat ke belakang, saya melihat cukup banyak hal yang berubah dari diri saya dua tahun lalu dan itu saya syukuri. Lalu saya teringat dengan nasihat seorang kakak senior kita (angkatan 96) yang bertemu saya sebelum saya berangkat studi. Kakak ini waktu itu sudah menggondol gelar MSc dari Universiteit Twente, Belanda. Nasihatnya itu tak pernah saya lupa: "Ritz, culture shock terbesar kamu nanti bukan waktu kamu tiba di Belanda, tapi setelah kamu kembali ke Indonesia selesai studi." Nasihatnya ini lah yang saat ini saya coba ingat terus. Kembali ke NIAT, ISI dan KEMASAN, kalau saya perhatikan, dimanapun kita berada, NIAT dan ISI biasanya selalu sama, tidak ditentukan oleh waktu dan tempat. Tetapi, KEMASAN sangat ditentukan oleh waktu dan tempat, jika kita ingin PESAN kita yang baik itu diterima dengan dan dimengerti dengan baik. Saya bayangkan, jika saya bicara begitu direct kepada kebanyakan orang di Indonesia seperti normalnya di Barat, saya yakin tidak sedikit lawan bicara saya yang tidak siap dan akhirnya gagal menangkap ISI dan NIAT saya sebaik apa pun itu.

Demikian pula dengan adat Batak. Saya sangat bangga menjadi orang Batak dan jika ada kesempatan saya ingin belajar dan mengerti adat dan nilai2 Batak lebih lagi. Benar bahwa dalam adat Batak setahu saya hanya orang yang telah menikah yang boleh terlibat / berbicara, tergantung perannya apa juga tapi saya tahu ada nilai mulia di balik ini. Saya juga setuju bahwa membawa adat Batak ke area dimana seharusnya profesionalitas ditegakkan, seperti di gereja dan tempat kerja (apalagi perusahaan keluarga Batak) kerap kali menciptakan persoalan2/konflik2 baru yang tidak perlu. Prinsip saya pribadi, termasuk di milis ini, adalah (1) saya menghargai hak yang sama dari setiap anggota tak mengenal usia, gender, dll untuk menyatakan pendapat meski berbeda (selama memang ybs punya argumen yang kuat). Yah, mirip lah dengan quote dari Voltaire ini: "I do not agree with what you have to say, but I'll defend to the death your right to say it." Tapi (2) saya juga sangat mendukung KEMASAN atau cara berkomunikasi yang baik dan tepat, juga terlepas dari usia, gender dll.

Sekian dulu dari saya. Semoga berguna.

Salam pembelajaran,
Mauritz Panggabean

Monday, July 14, 2008

Delapan kado terindah dan tak ternilai

Jalan2 di information superhighway, ketemu info bagus ini. Aku copas dari sini. Aku pengen banget belajar memberi delapan2 nya untuk orang2 yang aku sayangi. Sebentar lagi aku pulang, untuk kalian, ... untukmu....

1.Kehadiran

Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Memang bisa juga hadir lewat surat, telepon, foto, atau faks. Namun dengan berada di sampingnya, dapat berbagi perasaan, perhatian, dan kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Dengan demikian, kualitas kehadiran juga penting. Jadikan kehadiran sebagai pembawa kebahagiaan.


2.Mendengar

Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini. Sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan ketimbang mendengarkan, sudah lama diketahui bahwa keharmonisan hubungan antar manusia amat ditentukan oleh kesediaan saling mendengarkan. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar dengan baik, pastikan dalam keadaan betul-betul relaxs dan bisa menangkap utuh apa yang disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya, ini memudahkan memberikan tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan terima kasihpun akan terdengar manis baginya.


3.Diam

Seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari segalanya, diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya "ruang". Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik, bahkan mengomel.


4.Kebebasan

Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang bersangkutan. Bisakah kita mengaku mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya ? Memberi kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah "Kau bebas berbuat semaumu". Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang ia putuskan atau lakukan.


5.Keindahan

Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih ganteng atau cantik ? Tampil indah dan rupawan juga merupakan kado lho. Bahkan tak salah jika mengkadokannya tiap hari ! Selain keindahan penampilan pribadi.

6.Tanggapan Positif

Tanpa sadar, sering kita memberikan penilaian negative terhadap pikiran, sikap, atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita. Kali ini, coba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya demi Anda. Ingat-ingat pula, pernahkah memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga permintaan maaf) adalah kado indah yang sering terlupakan.


7.Kesediaan Mengalah

Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran. Apalagi sampai menjadi cekcok yang hebat. Semestinya pertimbangkan, apa iya sebuah hubungan cinta dikorbankan jadi berantakan hanya gara-gara persoalan itu? Bila memikirkan hal ini, berarti siap memberikan kado "kesediaan mengalah". Okelah, mungkin kesal atau marah karena telat datang memenuhi janji. Tapi kalau kejadiannya baru sekali itu, kenapa musti jadi pemicu pertengkaran yang berlarut-larut? Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.


8.Senyuman

Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman, terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputus-asaan, pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan syarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali kita menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi?

Thursday, July 10, 2008

Backup, backup, backup!!!!

Aaaaargh, aku tadi udah nulis blog panjang tentang Kung Fu Panda, tapi ada technical error, semuanya jadi hilaaaaaaang. Aaaaaarghhh.... grrrrrrrr..... %!@*$#~+?!

Duh, mo nulis lagi dari awal, udah ga ada semangat, hiks, hiks.... abis udah panjang sih tadi. Sial, satu jam lebih habis sia-sia.... Ya udahlah, nulisnya nanti aja, sekarang ngumpulin niat lagi... Sial, sial, gobloknya kau Ritz, ah.... guobluoooook!!!

Yah setidaknya malam ini dengan cara menyakitkan aku belajar the three rules in blogging: backup, backup, backup!
One piece of advice to bloggers: don't forget to use save as draft button to avoid ending up like me now, hiks...

Sunday, July 06, 2008

Jigsaw in July and Deg-deg-an

Jigsaw: A puzzle in which the player has to put together a picture that has been cut into irregularly shaped interlocking pieces (http://www.thefreedictionary.com/jigsaw).

Hari ini aku mendapat satu lagi analogi untuk menggambarkan hidup, yaitu jigsaw puzzle. Hidup ini ibarat menyelesaikan jigsaw puzzle dengan potongan-potongan puzzle yang ditawarkan oleh hidup itu sendiri. Aku sebenernya ingin mengulas analogi ini lebih detil, tapi sepertinya tidak sekarang. Nanti aja lah, waktu aku bisa berpikir lebih bernas dan punya waktu lowong untuk nulis. Sekarang aku cuma mau share jigsaw puzzle yang harus kuselesaikan setelah potongan puzzle berjudul studi master telah berhasil kuletakkan di tempat dan saat yang tepat.

Apa misi selanjutnya selesai master? Dari sejak awal aku datang menjejakkan kakiku di Schiphol, aku sudah tahu jawabnya: aku ingin langsung lanjut PhD setelah lulus master. Kenapa PhD? Well, segala sesuatu baik untuk dimulai dari akhir. Tujuan menentukan proses. Sampai detik ini aku merasa yakin bahwa panggilan Tuhan untukku adalah di dunia pendidikan tinggi (universitas) dan itu sesuai dengan minat, potensi dan passion-ku. Karena itu lah, ya harus diusahakan belajar sampai mentok (doktor) dan kalau bisa secepatnya setelah master.

Lalu bagaimana sekarang setelah fase master lewat? Aku bersyukur karena sudah ada beberapa potongan jigsaw berjudul PhD offer yang ditawarkan ke aku, belum lagi beberapa aplikasi yang sedang kutunggu hasilnya. Yang saat ini kulakukan sebelum pulang ke Indonesia adalah mengumpulkan sebanyak mungkin potongan jigsaw PhD yang ada, memilih yang terbaik, lalu meletakkannya di tempat dan saat yang tepat. Yang bikin aku senang yaitu karena aku sampai saat ini tak perlu mengemis-ngemis ke orang lain supaya mereka mau membiayai studi PhD-ku dengan ikatan dinas. Sejauh ini semuanya aku cari sendiri (tentunya dengan pertolongan dan izin Tuhan). Lagipula, kalau bisa cari sendiri, kenapa harus minta-minta dan mengemis-ngemis? Selain itu, aku pengen lanjut PhD bukan pakai duit bangsa sendiri, jadi duit itu bisa dipakai buat yang lain kan...

Saat ini aku masih menanti datangnya potongan-potongan jigsaw puzzle dan itu membuatku deg-degan. Deg-degan itu wajar, selama memang kita telah melakukan bagian kita dengan sebaik yang kita bisa dan sekarang tinggal bagian Tuhan. Dan ternyata, kalau aku lihat ke belakang, jarang aku deg-degan tanpa mendapatkan hasil yang manis. Kita lihat saja beberapa contoh aku paling deg-degan dan hasilnya manis. Dulu aku deg-degan di hari pertamaku SD, eh lulus SD juga. Masuk SMP sih tidak terlalu deg-degan soalnya masih pake celana pendek dan cuma warnanya aja yang ganti jadi biru. Masuk SMA aku rada deg-degan juga, dan meski akhirnya aku ga bisa masuk ke SMA Negeri impian, aku tak menyesal. Justru aku bisa buktikan aku tak kalah dengan saingan2 ku di SMA-SMA top. Satu yang paling deg-degan buatku adalah UMPTN. Setahun berjuang dan belajar begitu keras, hingga aku begitu kurus, tanpa ikutan bimbingan test dengan bayar sendiri, akhirnya aku berhasil merebut satu kursi di jurusan Teknik Elektro, jurusan paling top di institut teknologi di sebelah kebon binatang Bandung. Aku deg2an juga waktu pertama kali tinggalkan keluarga begitu jauh untuk studi. Sidang sarjana juga saat2 aku deg-degan banget, dan akhirnya bisa juga lulus. Jadi MC di depan 500 orang lebih, deg-degannya gile juga hehe. Kerja pertama kali juga deg-degan. Ngajar pertama sekali di depan kelas, deg-degan juga. Berjuang apply beasiswa S2 ke luar negeri dan menunggu hasilnya juga deg2annya bukan main. Berangkat ke luar negeri pertama sekali juga jantungku deg-degan. Ujian pertama kali di luar negeri, deg-degan. Menyatakan cinta, waaaah ini deg-deg-annya tak ada tandingannya hehehe... Waktu mulai internship dan tesis di perusahaan asing kelas dunia seperti Philips Research, aku juga deg-degan banget. Thesis defense, deg-degan banget juga. Sekarang, nunggu apa pimpinan Tuhan selanjutnya buatku, deg-degan juga... So, dalam semua permainan jigsaw puzzle itu aku deg-degan, tapi semuanya dilalui dengan manis.

Apa yang aku bisa simpulkan di sini? Pertama, deg-degan itu wajar, tiap kali kita memulai fase baru dalam hidup ini. Kedua, deg-degan juga berarti sehat, artinya kita benar-benar niat dan berusaha untuk yang terbaik. Coba kalau kita ga peduli sama sekali, ga mungkin kita deg-degan kan? Ketiga, biasanya jika kita telah persiapan dengan baik, deg-degan itu di sepuluh menit pertama abis itu udah tenang. Beda kalau kita ga persiapan dengan baik, deg-degannya juga di sepuluh menit pertama, tapi abis itu stress hahahaa.... Keempat, deg-degan tidak sama dengan kuatir, jika kita telah mengerjakan seluruh bagian kita dengan baik dan percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita.

Life is like completing your own jigsaw puzzle...
With the Jigsaw Maker always on your side, you'll never ever quit too soon.