Sunday, February 01, 2009

Prinsip2 dan nilai2 selama di Belanda (1)

Seperti janjiku sebelumnya, dan juga janjiku ke aku sendiri, aku mau share apa aja nilai2 dan prinsip2 penting yang kupelajari selama dua tahun di Belanda. Ada satu kebiasaan yang menurutku penting banget untuk dimiliki dan aku memang sedang melatih diriku untuk terbiasa dengan kebiasaan itu. Kebiasaan yang kumaksud, atau lebih tepatnya mungkin sikap hidup, yaitu melihat lebih jauh ke balik peristiwa atau segala fenomena dan mencari apa prinsip atau nilai yang berada di balik semua itu. Sejauh ini, dalam proses melihat lebih dalam dan mencari itu, kita perlu berpikir dan bertanya mengapa. Nah, dari proses ini, setelah kita menemukan prinsip2 atau nilai2 yang mengatur semua fenomena itu, kita akan bisa mengkristalkannya menjadi prinsip2 atau nilai2 yang dapat kita jadikan prinsip dan nilai kita sendiri. Tentu semua ini harus dipertemukan dan disaring dengan Firman Tuhan. Melalui cara inilah kita bisa menyimpulkan prinsip dan nilai tersebut dengan kata2 kita sendiri. Aku melihat, dengan cara inilah orang2 hebat melihat hidup ini dan mampu mengucapkan kata2 hebat yang menjadi quote yang banyak dikutip orang. Lewat cara ini pula aku pun bisa membuat quote ku sendiri yang tentu bisa kupertanggung jawabkan.

Semua yg kutuliskan ini didasarkan pada pengamatan, pengalaman dan pemikiranku sendiri, jadi kalo ga setuju, silakan aja. Penomoran bukan menunjukkan prioritas, cuma merupakan urutan kronologis mana yang duluan muncul di kepalaku. Prinsip pentingnya kutulis dengan cetak tebal. Supaya blognya ga terlalu panjang, aku tulis dalam beberapa bagian. Yah, supaya ada juga yang aku tulis di weekend2 berikutnya, sambil aku bisa ingat2 lagi mana tahu terlupa. Oya, aku udah janji sama diriku sendiri akan nulis blog hanya waktu weekend, kecuali ada kasus khusus. Semoga berguna.
  1. Prinsip ini aku udah pelajari beberapa tahun sebelum aku ke Belanda, bunyinya begini. Nilai dari sesuatu yang ingin kita capai berbanding lurus dengan usaha yang kita keluarkan untuk mencapainya. Prinsip ini bersifat bi-implikatif. Usaha yang kita keluarkan untuk mencapai sesuatu berbanding lurus dengan nilai sesuatu yang ingin kita capai itu. Sejauh ini sih aku melihat ini prinsip universal dan bisa dipakai untuk menilai seseorang atau satu organisasi, terutama menilai integritas mereka, sebab integritas adalah kesesuaian tindakan dengan kata-kata. Kalo kata2 seseorang dan tindakannya tidak match dengan prinsip ini, berarti ada yang salah dengan orang itu. Misalnya, kalo ada institusi perguruan tinggi bilang bahwa dosennya adalah aset mereka yang utama, tetapi kenyataannya dosennya sendiri yang punya niat untuk studi lanjut atau ikut training justru tidak difasilitasi dengan alasan tidak ada uang, tapi malah uang yang ada dipake buat memperindah taman kampus, misalnya, maka jelas ini tidak sesuai dengan prinsip di atas. Buatku, ga ada integritas antara kata2 dan tindakan. Kenapa? Karena kalo mereka bilang dosennya itu aset penting, seharusnya memprioritaskan pengembangan dosennya. Kalo tidak, itu artinya bullshit, seindah apapun kata2 mereka. Aku sering pakai prinsip ini juga untuk memotivasi orang lain dan diriku sendiri. Kalo ada mahasiswa bilang kuliahnya itu penting sekali sama dia, tapi ternyata dia malas2 belajar, maka aku tinggal hantamkan aja kata2 dan tindakannya itu sama prinsip tadi. Aku bisa simpulkan, kemungkinan besar kata2mu itu omong kosong, sebab kalo benar kuliahmu itu penting, pasti kau akan rajin2 belajar. Usahamu tidak menunjukkan nilai dari studimu. Prinsip itu juga yang kupake untuk menilai diriku sendiri. Misalnya, kalo kubilang aku mencintai Tuhan dengan segenap hatiku, tapi untuk bangun pagi dan saat teduh aja aku malas, maka kata2 ku itu omong kosong. Semua ini didasarkan sama Firman Tuhan, bahwa pohon dinilai dari buahnya. Aku punya istilah sarkastis tapi aku suka buat kata2 omong kosong ini. Satu ketika aku nonton TV dan dengar seorang pejabat Indonesia menjanjikan bahwa satu masalah akan selesai pada hari H. Tapi sampai hari H+2 masalah itu belum selesai juga. Mendengar itu di TV aku bergumam, "Ini orang ngomong atau kentut ya?" Harusnya kalo orang bicara itu ya harus bisa dipegang kata2nya, sebab kalo kata2 pun ga bisa lagi dipegang, lalu apalagi yang bisa dipercaya dari orang itu? Makanya, kalo orang ngomong dan ga bisa dipercaya, aku sebut orang itu KENTUT, tapi kentut dari atas (dari mulut). Cukuplah manusia kentut dari bawah dan jangan sampai dari atas... Btw, ada satu tempat dan saat yang aku tahu pasti dimana prinsip di atas tidak berlaku, yaitu di ketika Yesus Kristus menderita dan mati di kayu salib, untuk kau dan aku. Sebab berapapun besarnya usaha kita supaya bisa masuk surga tidak akan pernah cukup.
  2. Belanda adalah negara dimana hak-hak individu itu dirayakan begitu bebas tapi juga bertanggung jawab. Satu prinsip yang aku kristalkan selama di sana yaitu dalam setiap keadaan, kenal dan ketahuilah baik2 apa yang menjadi hak dan kewajibanmu, lalu jadikan itu dasar untuk bertindak. Seringkali aku perhatikan, orang-orang terutama dari Asia kurang aware dengan apa yang jadi hak dan kewajibannya, dan haknya untuk mengklaim hak nya itu. Misalnya, aku makin sadar selama di Belanda bahwa mahasiswa adalah klien dari dosen, dan mahasiswa punya hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas, hak untuk bertanya di kelas, hak untuk mengetahui jawaban dan solusi ujian, hak untuk protes terhadap nilai ujian yang diberikan dosen, hak untuk memiliki dan menyuarakan pendapat dan argumen yang berbeda dengan dosennya, dan berbagai hak lainnya. Itu terasa sekali di ruang kelas. Biasanya mahasiswa Indonesia malu atau malas untuk bertanya. Sebenernya itu adalah satu kebodohan, sebab bertanya itu adalah hak mahasiswa, dan kalau mereka tidak klaim dan gunakan hak mereka itu, ya mereka sendiri yang rugi. Dalam hal ini, jika mahasiswa berhak bertanya tentang materi di kelas, itu berarti merupakan kewajiban dosen untuk memberikan jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan mahasiswa itu. Di Belanda pula aku temui profesor bisa didebat dengan keras oleh mahasiswanya. Masalahnya, apakah dosen2 kita juga menyadari hak dan kewajibannya itu?
  3. Aku perhatikan orang Asia itu cenderung sulit bilang tidak, cenderung mudah bilang ya. Ga tahu kenapa, mungkin karena takut berkata tidak itu tidak sopan atau akan menyinggung lawan bicara. Selama di Belanda aku belajar untuk jangan pernah takut untuk berkata TIDAK selama kau punya argumen kuat untuk itu. 'Tidak' ini macam-macam bentuknya, bisa 'tidak tahu', 'tidak bisa', 'tidak mengerti', 'tidak pernah', dll. Satu ketika, dalam minggu2 pertama aku kuliah di Belanda, aku bertanya di kelas ke dosen yang ngajar. Trus dosen itu menjelaskan dan setelah itu dia tanya balik apa aku sekarang mengerti. Waktu itu aku rada takut bilang 'tidak/belum ngerti' karena takut itu merepotkan dosen atau takut aku kelihatan bodoh. Tapi si dosen memperhatikan raut wajahku dan bahasa tubuhku dan dia bilang kelihatannya aku belum ngerti. Jadi dia mengulangi lagi penjelasannya dari awal, dan membiarkan aku terpelongo. Begitu juga, orang Belanda kalo ditanya sesuatu dan dia tidak tahu, dia akan bilang 'tidak tahu'. Kata-kata seperti 'mungkin', 'barangkali', 'maybe' juga jarang mereka ucapkan, kecuali bener2 pas dengan artinya. Beda dengan orang Indonesia yang kebanyakan sok tahu, berani menjawab meski 'ga tahu'. Atau coba perhatikan, meski sebenernya ga tahu, orang Indonesia sering bilang 'KURANG tahu' kan? Sebaliknya, betapa sering dan mudahnya orang Indonesia bilang 'mungkin', 'barangkali', 'kalo ga salah', dll. Barangkali karena itu kali di Indonesia itu terlalu banyak orang yang merasa bisa jadi pengamat, asal ngomong, asal bicara, padahal bukan pakar. Lagi-lagi prinsip ini juga balik ke Alkitab, seperti kata Yesus, "Kalo Ya, katakan Ya, kalo Tidak, katakan Tidak. Di luar itu berasal dari Si Jahat."
(bersambung...)

2 comments:

erna manurung said...

Hallo Mauritz,
Idemu di tulisan ini saya adop deh buat anak-anak didik (siswa)saya di Kendari. Sdh 3 thnm ini saya ngajar pendiidikan agama kristen di salah satu sekolah swasta di Kendari. sekolahnya punya Korem. Pertama saya ngajar thn 2006, shock berat. maklumlah, sikonnya beda sekali dengan anak-anak remaja yg selama ini saya temui di kota besar (lha iya lah ... masa sama sih, he-he). mereka amat pasif dan nggak ngerti gimana mesti bertanggung jawab thd tugas-tugas yang diberikan gurunya, sekaligus nggak ngerti juga hakhak yang harus mereka miliki.

sekali waktu saya minta ke mereka buat kesepakatan soal mulai jam belajar. yaitu jam 11.20. lewat dari itu, nggak boleh masuk. begitu pun gurunya, kalau saya telat atau lewat dari jam 11.20 anak-anak boleh pulang, sebagai risikos anga guru yang terlambat. eh, ternyata anak-anak nggak setuju. mereka bilang, biar bu kami tunggu saja sampai ibu datang.
Duh, saya sedih deh ... tapi memang saya nggak pernah terlambat sih.

Anyway, email ini sekaligus minta izin ya. thanks ..... good luck!


Kak erna manurung
Kendari - Sulawesi Tenggara

mauritz panggabean said...

Hi Kak Erna,

Saya senang sekali tulisan saya bisa jadi berkat jauh di Kendari sana. Dengan senang hati saya persilakan Kakak share. Tetap semangat ya Kak!