Sunday, February 08, 2009

Prinsip2 dan nilai2 selama di Belanda (2)

Blog ini lanjutan blog ku minggu lalu. Ayo Mang...
  1. Karena aku udah pernah kerja dan ngajar sebagai dosen beberapa tahun sebelum S2, aku jadi belajar untuk memperhatikan seperti apa figur seorang dosen atau profesor di Belanda. Di sana lah aku belajar banyak hal bagaimana seorang dosen yang baik seharusnya. Hampir dari mereka memiliki kesamaan. Pertama, mereka benar2 menguasai bidangnya dan punya gelar PhD dalam bidang itu. Kedua, mereka datang dan mulai kuliah hampir selalu tepat waktu. Mereka juga hampir selalu ingat untuk menghentikan kuliah tiap 45 menit untuk mulai break 15 menit. Ketiga, mereka senang melayani pertanyaan mahasiswa, bahkan setelah kuliah selesai, mereka masih mau tinggal di kelas sampai lebih dari 1 jam kalau ada mahasiswa yang tertarik untuk diskusi. Tentu saja ini kalau mereka tidak punya appointment atau pekerjaan penting setelah kuliah. Keempat, aku merasa mereka selalu mempersiapkan kuliahnya dengan baik. Aku ingat profesorku yang begitu sibuk saja selalu mempersiapkan kuliah yang akan dia berikan. Kelima, seingatku mereka menghormati mahasiswa dengan segala ide dan argumennya, meski tidak sesuai dengan apa kata mereka, bahkan kalau berdebat sekalipun. Mereka tidak pernah punya niat menjatuhkan atau mempermalukan mahasiswanya di depan umum atau secara pribadi. Keenam, ini yang paling berkesan buatku, meski mereka adalah dosen dan profesor yang sudah hebat secara internasional, mereka tetap rendah hati. Tentang kerendah hatian ini, aku ingat sekali pengalamanku dengan satu orang profesorku. Aku udah tulis blog tentang itu di sini. Aku juga melihat banyak bentuk kerendahhatian dari pembimbingku, padahal dia sudah IEEE Fellow. Beda sekali dengan sejumlah orang di Indonesia yang aku tahu, yang mungkin karena sudah doktor atau sudah profesor, lalu merasa itu membuat mereka merasa hebat dan arogan. Beh, aku benar-benar benci sama orang-orang (tepatnya, sikap-sikap) seperti ini. Aku belajar dari semua ini, satu pasti tanda kehebatan orang terlihat dari bagaimana ia memperlakukan orang-orang kecil dengan hormat dan orang-orang yang lebih hebat darinya tanpa minder dan tanpa menjilat. Tipe orang yang PALING aku benci di dunia ini adalah mereka yang melakukan ketiga tindakan hina ini: MENENDANG KE BAWAH, MENYIKUT KE SAMPING, dan MENJILAT KE ATAS.
  2. Waktu aku menulis tesis masterku, aku ingat sekali bagaimana profesor pembimbingku itu duduk di samping ku untuk me-review dan merevisi tesis yang sudah kutulis kata demi kata. Beliau tidak hanya menguji pemahamanku tentang apa yang kutulis, tetapi juga beliau sangat memperhatikan kualitas penulisan dalam bahasa Inggris, sampai-sampai tidak boleh ada koma atau tanda titik yang salah. Luar biasa. Setelah kami melakukan itu sampai enam jam lebih (!), lalu akhirnya beliau salam aku dan beliau bilang, "Mauritz, congratulations. Now you have a master's thesis!" Ketika kami juga menulis paper dari tesisku itu, kami juga duduk bersebelahan untuk mengeditnya on the spot, sementara di depanku laptopku siap dengan editor LaTex. Pernah aku tanya ke beliau, "mengapa Bapak habiskan waktu begitu banyak dengan segala kesibukan Bapak hanya untuk meng-edit tesis seorang mahasiswa master bimbingan Bapak?" Lalu beliau jawab kira-kira begini, "Karena namaku akan ada di tesis itu dan tesis itu akan dibaca orang lain, yang artinya aku harus tahu apa yang kau tulis dan aku turut bertanggung jawab atas isinya, karena aku adalah pembimbingmu." Aku benar-benar belajar bahwa satu tanda bangsa yang maju adalah ketika mereka semakin menghargai kebiasaan MENULIS dan MEMBACA. Beda sekali dengan orang Indonesia yang umumnya tak terbiasa membaca apalagi menulis, sebaliknya paling jago dalam kebiasaan BERBICARA dan MENONTON... Jadi kalau bangsa Indonesia mau maju, kita harus ubah kebiasaan berbicara dan menonton dengan kebiasaan membaca dan menulis. Caranya mudah: mulailah dengan berhenti menonton sinetron.
  3. Selama aku di Philips Research, sekali seminggu biasanya aku ada update meeting sekitar satu jam dengan dua pembimbingku di sana, dua-duanya peneliti brilian, PhD dari TU Delft. Dalam satu update meeting, mereka berdua punya perbedaan pendapat yang tajam tentang tesisku dan mereka berdebat begitu keras dan serius, sambil membiarkan aku terdiam dan menonton dengan sedikit takut. Mereka berdebat seru mungkin sekitar setengah jam lebih, sampai-sampai ada yang keluarkan statement seperti ini, "Come on, you have your PhD in this field, and you don't know it??" Singkat cerita, update meeting selesai dan kami bertiga keluar. Lalu mereka kembali seperti biasa, begitu ramah dan mengajak minum kopi. "What?!," pikirku, "kok bisa lima menit barusan tadi mereka berdebat seperti orang bertengkar, sekarang seperti itu tak pernah terjadi?" Bagiku, inilah namanya profesionalisme. Setiap orang punya banyak peran dalam hidupnya, tergantung waktu dan tempat. Bisa jadi teman bicara yang menyenangkan saat makan siang, lawan diskusi saat meeting, ayah dan suami di rumah, profesor di kampus. Bagiku, profesionalisme berarti tahu bersikap dan memperlakukan orang lain sesuai dengan peran yang tepat menurut waktu dan tempat saat itu, baik perannya maupun peran orang lain. Dari cerita dan peristiwa lainnya, aku perhatikan orang Belanda dalam hal ini sangat profesional. Dan hebatnya, they don't take it personally. Coba bandingkan dengan orang Batak Kristen umumnya. Kok bisa di pekerjaan atau di gereja panggil "Lae" atau "Tulang"? Kenapa bawa-bawa adat ke gereja atau ke pekerjaan? Udah gitu, parahnya, dimasukin hati lagi. Weleh weleh, kapan majunya kita kalau begini terus...
(bersambung...)

No comments: