Sunday, August 26, 2007

You may kiss the bride

Di tengah2 kesibukan membereskan kamar buat pindah, aku menghabiskan hampir siang dan sepanjang malam (bahkan sampe jam 2 pagi) hari Sabtu kemarin untuk menghadiri pemberkatan dan resepsi pernikahan dua orang teman baikku di gereja, Daniel Panjaitan dan Martyna Janowicz. Mereka berdua ini satu kelompok kecil denganku di Trinity Church Eindhoven. Daniel dari Indonesia, alumnus Elektro ITB 1994 (seniorku heheh..) dan sekarang bekerja sebagai project manager di NXP Semiconductor (dulu namanya Philips Semiconductor) di Eindhoven setelah meraih MSc dari TU Delft. Martyna berasal dari Polandia dan saat ini bekerja sebagai post doc di University of Tilburg setelah meraih PhD dari universitas yang sama. Mereka berdua terlibat aktif di tim musik dan tim kelompok kecilnya pemuda gereja. Ini pertama kali aku mengikuti pemberkatan dan resepsi pernikahan di Eropa (Belanda) dan kesempatan baik ini tidak kusia2kan untuk belajar banyak tentang budaya dan values di balik perbedaan pernikahan di Eropa dan di Indonesia, khususnya dalam budaya Batak. Di sini aku akan tulis beberapa yang penting dan kayanya bisa diterapin di Indonesia, setidaknya kalo aku menikah nanti hehehe... Mungkin aku akan tulis beberapa blogku ke depan apa yang kupelajari dari peristiwa ini.

Perbedaan pertama yang kulihat adalah di undangan mereka. Di sana, mereka hanya tulis nama lengkap mereka saja, tanpa segala gelar akademik yang mereka sandang. Berbeda banget dengan orang Batak, segala gelar yang ada ditulis di undangan, sampe2 gelar Ahli Madya (AMd, diploma 3) juga. Aku lebih suka cara di sini, tanpa gelar2an segala karena gelar2 itu perlu ditulis untuk konteks akademik sementara wedding kan bukan acara akademik. Acara akademik itu misalnya kalo nulis jurnal atau memberikan presentasi ke forum atau konferensi akademik, atau kita dikasih penghargaan akademik. Tapi, kalo pun mo nulis gelar akademik segala di undangan nikah, kenapa cuma tulis gelarnya doang? Ya tulis juga dong darimana gelar itu diperoleh sebagai pertanggung jawaban, biar semua orang tahu. Jadi, jangan beraninya nulis gelar doktor, tapi ga berani nulis asalnya dari American University of Hawaii yang kampusnya pun dimana ga jelas, misalnya. Kenapa orang Batak getol banget nulis gelar? Aku pun ga tahu pasti. Mungkin karena bagi mereka pendidikan itu penting. Tapi mungkin sekali demi prestise dan gengsi semata.

Perbedaan kedua, di sini pengantin pria masuk lebih dulu ke gereja dan menunggu di depan altar. Sementara, pengantin wanita akan dibawa oleh ayahnya dengan diiringi musik standar dengan organ dan semua yang hadir berdiri. Pengantin pria didampingi oleh satu orang best man aja, tapi kemarin itu, pengantin wanitanya ditemani EMPAT orang bridemaids. Aku tanya sama pendeta gerejaku yang memberkati pernikahan mereka apa alasan di balik budaya ini. Dia bilang, di pandangan orang Kristen Eropa dulu, dalam hidupnya perempuan dilindungi dan ditanggungjawabi oleh dua orang yaitu ayahnya ATAU suaminya. Nah, waktu pemberkatan pernikahan di gereja, ayah si perempuan membawa putrinya sebagai sebagai simbol dan pengumuman di depan publik dan di hadapan Tuhan bahwa ayahnya menyerahkan putrinya untuk dilindungi dan ditanggungjawabi bukan lagi oleh dirinya, tapi oleh suaminya. Karena itu, sebenernya dalam upacara pernikahan (di Barat), pengantin perempuan lah yang menjadi pusat perhatian sebab dialah yang mengalami transisi paling besar dalam hidupnya. Pengantin pria yang menunggu menyimbolkan kesiapan penuh dirinya untuk menerima tanggung jawab besar ini, di hadapan jemaat dan Tuhan.

To be honest, I really love this idea. Kalo di budaya Batak, pengantin wanita sudah dijemput paginya dari rumah keluarga perempuan oleh pengantin dan keluarga pria sebelum ke gereja. Ada istilahnya Bataknya, cuma sekarang aku lupa2 ingat. Trus sejak itu, pengantin pria dan wanita udah terus bersama, termasuk waktu masuk ke gereja. Meski aku belum tahu pasti, aku yakin bahwa di balik adat ini pun sebenernya ada nilai2 yang luhur, tapi aku sendiri ingin menggabungkan keduanya, kalo bisa. Jadi, acara adat sebelum gereja tidak apa2 dilakukan. Cuma, aku sih pengen waktu masuk ke gereja pakai cara di Eropa itu. Sekali lagi bukan karena ikut2an, tapi karena nilai di balik itu yang menurutku agung dan dalam. Kalo Tuhan ijinkan aku menikah nanti, aku akan gunakan segala kemampuanku untuk meyakinkan keluargaku dan keluarga calon istriku so that they love and accept this idea too hehe...

Yang ketiga, selesai kedua pengantin saling mengucapkan janji pernikahan dan mempertukarkan cincin, kemarin itu pendeta menyatakan mereka sebagai suami istri dan kepada pengantin laki2 dia mengucapkan kalimat "Now you may kiss the bride" yang uniknya ga tertulis di kertas acara. Maka, kedua temanku yang udah jadi suami istri itu pun berciumanlah di bibir selama sekian detik, bukan sekali, tapi dua kali hehe, diiringi tepukan tangan yang menggegap dari jemaat yang memenuhi gereja. Oya, tentu saja, itu setelah pengantin laki2 membuka tabir yang menutupi wajah pengantin wanita yang waktu itu kelihatan begitu cantik dan bahagia... Kalo ngga, wah gimana mau ciuman kan?

Waktu aku tanya ke pendeta kenapa itu ga tertulis di kertas acara, dia jawab itu udah jadi budaya dan konvensi, jadi tak perlu ditulis. Apa alasan di balik budaya itu? Pendetaku bilang, itu adalah demonstrasi dan pengumuman pertama dan jelas kepada publik bahwa memang mereka sah suami istri dan saling memiliki satu sama lain, sehingga mereka berhak berciuman di bibir tanpa mereka dan jemaat merasa malu di hadapan Tuhan. Kenapa cium bibir? Soalnya, jaman dulu, pasangan yang belum menikah, masih pacaran atau tunangan tidak boleh atau tidak layak untuk berciuman bibir. Itu dianggap cukup sakral, jadi hanya boleh setelah menikah.

Kalo di pernikahan Batak, ada juga sih ciuman setelah itu, cuma sejauh ini yang pernah kulihat langsung cuma ciuman di jidat atau di pipi. Halah, kadang2 kalo lihat itu, aku sih mikir, kalo ciuman kaya gini bukannya juga udah biasa meski waktu pacaran? Apa bedanya dong kalo udah menikah? Apakah ini satu bentuk 'kemunafikan' atau 'malu-malu' tapi sebenernya mau? Entahlah. Tapi jelas bagiku itu munafik, kalo si pasangan udah biasa melakukan lebih dari itu sebelum menikah, entah itu cium bibir, cium yang 'lain2' atau bahkan mereka udah tidak suci lagi. Rasanya untuk perbedaan yang ketiga ini, udah jelas apa yang aku ingin lakukan saat aku menikah, kalo Tuhan ijinkan. Kalo ada yang ga setuju dan merasa itu ga cocok dengan kultur Indonesia atau atas nama kesopanan, aku tak akan segan2 berdiri dan mendebatnya habis2an, ... cuma tentu aja, setelah pesta selesai ya hehe...

--

A successful marriage requires falling in love many times, always with the same person.
-Germaine Greer

No comments: