Tuan Putriku, seharusnya aku tulis ini untukmu tiga hari yang lalu tepat waktu engkau berulang tahun. Maafkanlah aku. Aku berharap pada hari itu engkau berbahagia sebab bukankah begitu banyak perayaan yang dilakukan untukmu pada hari itu? Harapanku, engkau bisa tersenyum dan tertawa lepas setidaknya untuk satu hari saja dan untuk sesaat melupakan segala kesulitan yang membelitmu. Namun, jujur saja, aku sendiri sudah lama kehilangan minat dengan segala perayaan itu sebab bagiku sering kali semua itu hanya kepura-puraan dari mereka yang katanya mencintaimu, tapi ternyata tidak. Bagiku, yang penting aku telah menyatakan isi hatiku kepadamu sebab tujuanku hanya satu: seandainya engkau berkenan membaca tulisanku ini hingga tanda titik terakhir, aku ingin engkau tahu bahwa aku mencintaimu dan mengerti mengapa aku ingin terus mencintaimu, meski kadang sulit... Mari, Tuan Putriku, kutemani engkau membaca.
Dilahirkan, dibesarkan dan hidup di tanahmu sebagai seorang anak pegawai negeri yang jujur dan hidup dari gaji saja memang tidak mudah, Tuan Putri. Banyak hal yang aku ingin kecap dan nikmati dalam hidup ini tapi tak sanggup kugapai karena kesederhanaan hidup. Rasanya munafik kalau aku bilang aku tak pernah iri melihat mereka yang hidup jauh lebih baik dariku, meski itu mereka peroleh dengan menyakitimu. Meski begitu, aku belajar banyak dan aku bersyukur untuk itu semua. Dibesarkan dengan beras catu mungkin bukan pilihan jika bisa memilih, tapi mengapa aku harus mengutuki hidup dengan beras catu jika berjuta orang tak tahu besok harus makan apa?
Meski bisa bersyukur, keinginan untuk meraih hidup yang lebih baik itu tetap tertanam dalam hatiku, bahkan makin hari makin kuat. Ketika keluarga kami direndahkan karena kesederhanaan kami dan aku ingin berontak dan marah, orangtuaku menghiburku dan mengajarku bahwa apa yang ada dalam diriku jauh lebih berarti dan bernilai daripada rumah mewah, mobil mengkilap, baju mahal, emas permata. Karena itulah aku tetapkan diriku untuk belajar keras untuk dapat masuk ke perguruan tinggi terbaik di tanahmu dan akhirnya aku berhasil. Aku memang ingin buktikan bahwa keluarga kami adalah keluarga yang layak dihormati karena apa yang ada dalam diri kami meski kami tak punya banyak mas berlian.
Namun begitu, tetap saja satu semangat membara dalam hatiku menguatkanku untuk meninggalkan rumah dan berjuang di tanah yang jauh. Terus terang, jauh di dalam lubuk hatiku terdalam, aku ingin jadi orang kaya dan aku yakin perguruan yang berhasil kumasuki ini adalah gerbang dan jalan yang tepat menuju masa depan yang lebih baik. Tak perlu waktu lama untukku menyadari bahwa aku berada di jalan yang benar. Selama si sanalah aku berkenalan dengan berbagai perusahaan terkenal dengan tawaran kesempatan yang menjanjikan untuk memuaskan hasrat hatiku. Nama-nama mereka yang demikian mashyur sudah menjadi bagian dari kamusku dan teman-teman seperguruan. Sepertinya kami begitu yakin, inilah masa depan kami, putra-putri terbaik yang lahir di tanahmu. Sedangkan namamu, Tuan Putri, agak jarang terucap di bibir kami, kecuali waktu engkau berulang tahun, mungkin.
Jadi, apakah sekarang aku sudah mencapai keinginan hatiku itu? Waktu itu, aku memang punya banyak kesempatan, jika aku mau. Sekarang pun, jika aku mau, aku bisa memutuskan untuk meninggalkanmu dan memilih menikmati hidup di negeri yang jauh lebih aman, lebih makmur, lebih tentram daripada tanahmu, Tuan Putri. Sekali lagi, itu jika aku mau. Tapi, aku tak melakukannya hingga detik ini. Aku telah membuat pilihan-pilihan dalam hidup ini, dan tidak jarang aku dianggap bodoh dan tolol dengan segala jalan yang telah kutempuh. Aku tak akan menuliskan semuanya di sini sebab aku yakin Tuan Putri sudah tahu semuanya. Lagipula, apa yang telah kulakukan untukmu rasanya belum ada apa-apanya. Aku hanya ingin Tuan Putriku tahu, untukmu lah semua itu kulakukan. Aku tak tahu sampai kapan aku akan sanggup berkata dan bertindak 'bodoh' seperti ini. Tahun depan, lima, sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun lagi? Aku tak tahu.
Sekarang aku ingin jujur padamu, Tuan Putriku. Sulit bagiku untuk bangga padamu sebab seluruh dunia juga tahu siapa dan bagaimana engkau dulu dan sekarang. Aku tak ingin menambah penderitaanmu lagi dengan menceritakan itu semua lagi di depanmu, toh engkau pasti juga tahu. Jika cintaku padamu ditentukan dari kebangganku padamu, sudah lama aku pergi meninggalkanmu atau aku telah mendapati diriku berada di barisan mereka yang menyakitimu terus, meski mulut mereka penuh kata-kata cinta untukmu. Aku mencintaimu karena aku yang tak tahu apa itu cinta pun belajar mencintai dari Sang Cinta itu sendiri yang telah mencintaiku sepenuhnya hingga menyerahkan diri-Nya untuk diriku yang tak layak menerima anugrah cinta yang demikian besar. Aku, sebutir debu fana ini, telah menikmati cinta-Nya yang tak layak kuterima. Lalu, jika demikian besarnya anugrah yang telah kuterima, siapakah aku ini jika aku tidak mencintaimu dan tetap belajar mencintaimu, Tuan Putriku? Sebab Dia tidak hanya mencintaiku. Dia pun sangat mencintaimu, Tuan Putriku.
Jadi sekarang Tuan Putri, semoga engkau tahu isi hatiku. Sudah saatnya aku mengakhiri tulisanku dan sebelum aku pergi, aku ingin menyanyikan sebuah lagu untukmu untuk ulang tahunmu. Sebuah lagu tentang Dia yang mencintaimu, yang begitu ingin dan mampu memulihkanmu, membalut dan menyembuhkan segala lukamu lebih dari siapapun. Oh, andaikan Tuan Putri mengenal-Nya dan menyambut cinta-Nya...
Kar'na Kasih-Nya
Mengapa Yesus turun dari sorga,
masuk dunia g'lap penuh cela,
berdoa dan bergumul dalam taman,
cawan pahit pun dit'rimanya?
Mengapa Yesus menderita, didera,
dan mahkota duri pun dipakai-Nya?
Mengapa Yesus mati bagi saya?
Kasih-Nya, ya kar'na kasih-Nya.
Mengapa Yesus mau pegang tanganku.
bila 'ku di jalan tersesat?
Mengapa Yesus b'ri 'ku kekuatan,
bila jiwaku mulai penat?
Mengapa Yesus mau menanggung dosaku,
b'ri 'ku damai serta sukacita-Nya?
Mengapa Dia mau melindungiku?
Kasih-Nya, ya kar'na kasih-Nya.
Monday, August 20, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment