Wednesday, December 20, 2006

Belaian pertama dan terakhir

Waktu aku buka satu portal berita Indonesia hari ini, aku membaca kabar duka meninggalnya seorang artis ABG (angkatan babe gue) karena komplikasi penyakit. Sang artis tua punya anak yang juga artis terkenal. Yang menarik perhatianku adalah kata2 si anak yang mengatakan bahwa dia tidak biasa manja dengan ayahnya karena sejak kecil sudah pisah darinya. Jadi, katanya, belaian yang dia berikan saat ayahnya adalah belaian pertama dan terakhir.

Sedih bukan? Sang artis muda menikmati belaian dari pasangannya, anaknya, keluarganya, fansnya dll seumur hidupnya, kecuali dari ayahnya! Yah, karena belaian adalah proses yang biasanya timbal balik, jadi sang artis tua pun menikmati belaian dari pasangannya, keluarganya, fansnya dll seumur hidupnya, kecuali dari anaknya! What a pity relationship! Menurutku sih, kalo boleh comment, seharusnya yang berinisiatif memulai adalah sang ayah, karena dia bisa membelai si anak mulai dari kecil dan jelas, itu jauh lebih mudah daripada kalo dia sudah besar. Tapi bukan berarti si anak pun tidak dapat memulai jika dia sudah dewasa. Tapi lagi2, masalahnya bukan bisa tidak, tapi mau apa tidak.

Hal yang sama bisa terjadi dalam hidup kita. Tak harus antara ayah-anak. Bisa juga antar saudara, antarpasangan, antarteman, dan banyak lagi. Yang hilang itu tidak harus belaian, tapi bisa saja kepercayaan, kejujuran, cinta, atau sekadar sebuah ucapan terima kasih, permohonan maaf atau sepatah maaf yang tulus. Tapi apakah arti semua itu kalau si saudara, pasangan, atau teman itu sudah membujur kaku tak bernafas? NOTHING, because that person can do or say nothing. Semua terlambat, padahal begitu banyak waktu berlalu saat orang tersebut masih hidup yang membuat kita tak punya alasan untuk berdalih. Bukankah yang hilang itu bisa jadi hadiah terindah saat ulang tahun atau tahun baru atau Natal?

Poor father, poor daughter. Sesuatu atau seseorang itu akan terasa nilainya ketika ia sudah tiada. Tetapi jika sekarang pun sesuatu atau seseorang itu memang sudah dirasa tak bernilai atau berarti lagi, mungkin saja ia memang sudah tiada meski masih ada.

Those who refuse to learn from history are condemned to repeat it.
George Santayana

No comments: