Wednesday, November 15, 2006

Melihat makna di balik benda: BUKU

Hari Minggu yang lalu, dalam cell group dengan teman2 gereja, kami bikin satu permainan sebagai icebreaker. Tugasnya adalah memilih satu benda dari ruang tamu apartemen tempat kami berada yang menggambarkan sesuatu tentang diri kita. Waktu kami semua (ada sembilan orang) sudah memilih dan masing2 menceritakan mengapa mereka memilih benda itu, aku terpana karena tersadar betapa banyaknya makna di balik benda2 mati yang ada di sekitar kita, jika kita mau mengambil sedikit waktu untuk merenung sambil melihat diri kita. Aku jadi bersemangat untuk melakukannya lagi dengan benda2 lain dalam hidupku dan mungkin aku akan menuliskan refleksiku di blog-ku ini.

OK, aku akan mulai dengan barang yang kupilih waktu itu. Aku memilih sebuah buku. Inilah yang kubagikan ke teman2ku waktu itu dan aku ingin bagikan kepada Anda juga. Aku pilih itu karena aku suka membaca apa saja yang baik dan menarik. Tapi selain itu, buku juga menggambarkan aku dan manusia. Manusia itu ibarat buku. Kita bisa melihat sampul luarnya tapi tidak bisa tahu isi dalamnya sepenuhnya. Tak mungkin kita tahu dan mengerti apa isi buku itu kecuali kalau buku itu memberanikan diri untuk membuka dirinya. Buku itu akan dapat mempengaruhi orang lain hanya ketika orang lain dapat mengenal isinya. Artinya, sulit rasanya membayangkan bagaimana seseorang dapat menjadi berkat bagi orang lain kalau ia tidak membuka dirinya untuk dikenal orang lain.

Sebuah buku dengan sampul kumuh dan halaman yang lecek bisa saja lebih bernilai daripada sebuah buku dengan sampul mahabagus dan kertas dengan kualitas terbaik. Sebuah Alkitab yang lecek karena sering dibaca jauh lebih bernilai daripada buku Da Vinci Code dengan edisi lux hardcover yang memuakkan itu. Bagiku nilai buku ditentukan dari isinya, bukan dari sampul dan kualitas kertas. Apakah Anda mau membeli buku dengan sampul mewah dan isinya kertas mahal tapi kosong melompong?

Tapi membuka diri seperti buku juga punya risiko. Bagiku, manusia ibarat buku yang ketika terbuka, maka pembacanya dapat menulis di lembaran2 halamannya, men-stabilo, menggarisbawahi, menghapus, atau bahkan merobeknya. Yah, membuka diri adalah langkah untuk menjadikan diri punya pengaruh bagi orang lain, bisa baik, bisa juga tidak. Tapi membuka diri berarti orang dapat mempengaruhi kita juga, bisa baik, bisa juga tidak. Sekarang, tergantung kita mau membuka diri untuk pembaca dan penulis yang mana...

Mungkin saja, buku yang halamannya lecek dan sampulnya tidak bagus lagi karena memang dia sering dibuka dan dibaca orang. Apa artinya itu dengan hidup seperti buku ensiklopedi cantik yang mulus tapi hanya dipajang di rak? Nilai hidup lahir dari perjuangan yang dijalani. Hidup tanpa perjuangan bukanlah hidup.

Satu pembaca dan penulis yang seharusnya terus jadi pembaca dan penulis utama dan pertama dalam buku hidup manusia adalah Allah, sang pencipta manusia itu sendiri. Apakah kita memberikan kedaulatan penuh kepada Allah untuk membuka dan membaca setiap lembaran hidup yang kita jalani, termasuk yang tersembunyi dan paling memalukan? Apakah kita menyerahkan kepada-Nya kekuasaan tertinggi untuk menulis kehendak-Nya dalam lembaran hidup kita yang baru? Apakah kita membiarkan lengan-Nya yang kuat dengan leluasa dan penuh kasih menghapus dan merobek lembaran kelam dalam buku hidup kita?

Menakjubkan bukan makna di balik benda mati yang biasa kita lihat ketika kita mencoba melihat sisi diri kita di dalamnya? Jika dari benda mati saja kita bisa melihat diri kita, apalagi kalau dari sesama manusia di sekitar kita, sesama teman seperjalanan mengarungi hidup. Terlebih lagi, dari diri Allah, sang pencipta diriku dan dirimu.

Mari melihat lebih tajam, berpikir lebih jernih. Sampai jumpa di refleksi dari benda mati lainnya. Sekarang sudah jam 12 malam. Saatnya aku menutup lembaran halaman hari ini. Besok aku punya lembaran baru yang kosong dan harus ditulis...

No comments: