Kategori terakhir, yaitu kategori keempat, saya namakan pola pikir dan gaya hidup
yang menjadi sumber persoalan bagi rakyat. Mahasiswa Indonesia yang diberkati dengan segala potensi orang muda dan seharusnya menjadi solusi bagi carut-marutnya persoalan bangsa ini, justru tidak jarang malah menjadi sumber persoalan baru bagi orang-orang
sekitarnya, minimal bagi keluarganya. Masih ingat dengan mahasiswa Indonesia yang kerjanya cuma belajar, belajar dan belajar demi IP tinggi dan cepat lulus? Nah, di titik ekstrim lainnya adalah mahasiswa yang justru sudah kurang atau tidak peduli lagi dengan kuliah dan studinya, dan malah fokus dengan kesibukannya di unit kegiatan mahasiswa atau organisasi di luar kampus. Mending kalau apa yang mereka kerjakan itu memang sungguh berguna buat mereka dan rakyat! Apa jadinya kalau sebenarnya yang mereka kerjakan cuma menghabiskan waktu dan uang, kongkow-kongkow dengan mahasiswa sejenis, diskusi-diskusi tanpa arah dan tujuan jelas, lalu main bola, main kartu, ya gitu deh? Apa arti semua itu dibandingkan sekian banyak tahun-tahun dan uang yang terbuang, apalagi kalau akhirnya drop-out (DO)? Oke lah kalau mahasiswa Indonesia macam ini sudah bisa cari sendiri uang buat biaya hidupnya, minimal buat beli bensin dan rokoknya. Lha, kalau untuk ongkosnya berorganisasi tak jelas dan beli rokok saja masih pakai uang orang tua, lalu apa sebenarnya yang dicari mahasiswa Indonesia macam ini?
Daftar yang termasuk kategori ini masih panjang Saudara! Mahasiswa Indonesia yang katanya calon pemimpin bangsa itu banyak juga yang susah mengendalikan darah mudanya. Mahasiswa Indonesia ini begitu cepat emosi dan tersinggung, lalu menyelesaikan konflik dengan berkelahi atau tawuran. Sungguh mengherankan kalau kita coba selidiki apa yang menyulut api perkelahian atau tawuran ini. Sering itu terjadi hanya karena salah wasit waktu main bola atau main futsal, atau karena lihat-lihat saja, atau karena masalah cewek. Tabiat main otot, main batu, samurai, atau botol daripada pakai otak ini sungguh-sungguh memprihatinkan, apalagi pelakunya mahasiswa dan, tak ketinggalan, mahasiswi juga! Apa sebenarnya yang kau cari, hai mahasiswa Indonesia?? Apa sebenarnya yang kau cari dengan berkelahi dan tawuran??
Daftar untuk kategori ini memang sungguh membikin hati miris, Saudara-saudara! Dan karena itu, saya tak mau berlama-lama membicarakannya. Gejolak darah muda dan energi tinggi mahasiswa Indonesia juga menemukan penyalurannya yang salah dalam demonstrasi anarkis. Demonstrasi yang katanya untuk memperjuangkan rakyat justru sering disertai anarkisme yang merusak fasilitas umum yang dibangun dengan uang pajak dari keringat rakyat. Kalau tidak, junior di kampus menjadi bulan-bulanan seniornya sebagai korban pembodohan dan penindasan di universitas, sebuah tempat dimana hak-hak dan kemerdekaan individu dirayakan dengan bertanggung jawab. Situasi ini diperparah dengan masuknya narkoba dan minuman keras ke kampus, yang makin menyulut api dalam urat darah mereka yang bergolak. Di samping itu, mahasiswa Indonesia lainnya, yang kaya dengan guyuran uang dari orang tua tapi miskin guyuran kasih sayang, mencari kepuasan dalam gaya hidup hedonis, konsumerisme dan pergaulan bebas. Kalau uang tidak cukup, ya sudah jual diri sajalah jadi ayam kampus atau gigolo buat om-om dan tante-tante kesepian. Gitu aja kok repot!! Hai mahasiswa Indonesia, apa sebenarnya yang kau cari?? Apa sebenarnya yang kau cari, hai mahasiswa Indonesia??
Itulah jawaban negatif saya terhadap pertanyaan siapakah mahasiswa Indonesia itu. Boleh-boleh saja Saudara tidak setuju dengan apa yang saya katakan. Itu hak penuh Saudara sebagai individu. Tetapi jika Saudara mampu melihat kebenaran di dalamnya, saya ajak Saudara untuk mendefinisikan ulang apa itu menjadi seorang mahasiswa Indonesia yang sejati. Bagi saya, seruan "Mana rasa sejati mahasiswa Indonesia??" pada dasarnya muncul karena satu alasan utama. Alasan itu yakni, kalau Saudara mampu menjadi mahasiswa di negeri carut-marut seperti Indonesia ini, apalagi kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN), maka Saudara adalah orang beruntung memperoleh kesempatan istimewa yang tidak bisa dimiliki mayoritas warga negara Indonesia akibat berbagai ketidakadilan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah. Kesempatan istimewa itu membuat rakyat bangsa ini berhak menempatkan tuntutan yang tinggi kepada yang mampu menjadi mahasiswa di republik ini.
Tuntutan rakyat yang tak terkatakan kepada mahasiswa di negeri ini makin tinggi menjulang saat semakin sulitnya akses bagi anak-anak bangsa yang berpotensi tinggi tapi tidak mampu secara ekonomi atau berada di daerah terpencil untuk dapat menikmati pendidikan di perguruan tinggi, terutama di PTN unggulan. Lihat saja, dari sekitar 1400 wisudawan wisudawati pada wisuda baru-baru ini dari universitas paling hebat di Sumatra, hanya 80 orang yang merupakan anak petani atau cuma 6%!! Ketika pendidikan tinggi, terutama di PTN, pelan-pelan secara praktis hanya terbuka lebar bagi anak-anak yang tinggal di kota dan punya uang untuk bayar biaya kuliah yang makin lama makin mahal, menurut Saudara-saudara, bukankah sesuatu yang wajar dan layak kalau mayoritas anak-anak bangsa yang pintar di negeri ini tapi dilahirkan dengan berbagai keterbatasan sosial sehingga tidak bisa menjadi mahasiswa lalu menuntut banyak hal kepada Saudara-saudara, hai mahasiswa PTN terbaik di Sumatra? Apakah sebagai warganegara mereka punya hak lebih rendah daripada Saudara-saudara yang sama-sama hidup dari tanah, air dan udara Indonesia? Apakah orangtua mereka yang petani, nelayan, buruh, guru, tukang becak, tukang bangunan, pegawai negeri yang jujur, tidak punya hak untuk melihat anaknya menikmati pendidikan di perguruan tinggi seperti Saudara? Apa bedanya orangtua mereka dengan orangtua Saudara?
Bersambung...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment